Feeds:
Pos
Komentar

PULANG

Oleh: Yose Rizal

Aku pergi dulu
Ingin berkelana
Menjumpai temanteman lama di berbagai negeri
Mendengar kisahkisah mereka
Semenjak kami dulu berpisah
Hingga berjumpa lagi nanti

Dalam perjalanan ini tolong beri aku bekal
Baik doa maupun bekal bertahan hidup
Dijalan tentu banyak yang akan menggoyahkan iman
Doakan aku dalam malammalam yang terjaga
Agar senantiasa aku tetap menjaganya

Aku sudah merasa rapuh
Jalan ini sudah semakin menanjak
Temanteman sudah mulai melupakan kenangan lama
Hidup dengan kisah baru di masa nanti
Sedangkan aku masih terus mencari,
Mencari sebuah jawaban yang dulu sering dipertanyakan

Telah tujuh negeri terlewati
Aku mulai merasa rindu
Rindu ketika pagi, saat membuka jendela dikamar dulu
Apakah rumah kita masih seperti dulu,
Rumah yang penuh impian dalam tiap ruangnya
Aku ingin berkumpul kembali bersama saudarasaudaraku seperti dulu
Makan bersama satu meja, tidur bersama satu kamar
Ku rindukan masa itu

Disuatu senja
Seorang lelaki menggendong gadis kecil di pundaknya sambil memegang balon
Aku ingin menjadi seorang Ayah
Sepasang remaja duduk di pinggir danau, mereka bercanda dan tertawa
Aku ingin kembali remaja
Seorang bapak separuh baya menggandeng istrinya penuh mesra di sebuah galeri lukisan
Aku ingin kelak seperti mereka

Keinginankeinginan seakan terasa menyiksa
Aku tidak takut ketika nanti tidak menjadi siapasiapa
Tapi aku takut nanti belum bisa membahagiakan dirimu

Pernah di sebuah kota, teman baik dulu tinggal disana
Aku malu dengan keadaan
Mereka hidup sederhana, namun selalu tersenyum saat menyambut pagi
Sedangkan aku masih bermuram durja ketika senja datang
Aku sudah mulai lupa tentang arti sebuah rasa syukur
Tentang terima kasih UntukNya

Sampai hari ini Engkau selalu berdoa untukku
Namun aku lupa berdoa untuk diriku sendiri…
Aku ingin pulang…

Bersihkanlah dirimu sebelum engkau dimandikan
Berwuduklah engkau sebelum engkau diwudukan
Dan solatlah engkau sebelum sengkau disolatkan
Tutuplah auratmu sebelum auratmu ditutupkan
Dengan kain kafan yg serba putih

Pada waktu itu tidak guna lagi bersedih
Walaupun org yg hadir itu merintih
Selepas itu engkau akan diletakkan di atas lantai
Lalu dilaksanakan solat jenazah
Dengan 4 kali takbir dan 1 salam
Berserta Fatihah, Selawat dan doa
Sbg memenuhi tuntutan Fardhu Kifayah

Tapi apakah 4 kali takbir itu dpt menebus
Segala dosa meninggalkan solat sepanjang hidup?
Apakah solat jenazah yg tanpa rukuk dan sujud
Dapat membayar hutang rukuk dan sujudmu yg telah luput?

Sungguh tertipulah dirimu jika beranggapan demikian
Justeru kumenyeru sekelian Muslimin dan Muslimat
Usunglah dirimu ke tikar solat
Sebelum dirimu diusung ke liang lahad
Menjadi makanan cacing dan mamahan ulat

Iringilah dirimu ke masjid
Sebelum engkau diiringi ke pusara
Tangisilah dosa-dosamu di dunia
Kerana tangisan tdk berguna di alam baqa’

Sucikanlah dirimu sebelum engkau disucikan
Sedarlah sengkau sebelum sengkau disadarkan
Dgn panggilan ‘Izrail yg menakutkan
Berimanlah engkau sebelum engkau ditalkinkan
Kerana ianya berguna utk yg tinggal
Bukan yg pergi

Beristigfarlah engkau sebelum engkau diistigfarkan
Namun ketika itu istigfar tdk menyelamatkan

Ingatlah di mana saja engkau berada
Engkau tetap memijak bumi Tuhan
Dan dibumbungi dgn langit Tuhan
Serta menikmati rezeki Tuhan
Justeru bila Dia menyeru, sambutlah seruan-Nya
Sebelum Dia memanggilmu untuk yg terakhirnya

Ingatlah engkau dahulu hanya setitis air yg tdk bererti
Lalu menjadi segumpal darah
Lalu menjadi daging
Lalu daging itu membaluti tulang
Lalu jadilah engkau insan yg mempunyai arti

Ingatlah asal usulmu yg tdk bernilai itu
Yang kalau jatuh ke tanah
Ayam pun tak sudi menerimanya
Tapi ALLAH mengangkat engkau ke suatu mercu
Yang lebih agung dari malaikat

Lahirmu bukan utk dunia
Tapi gunakanlah ia untuk melayar bahtera akhirat

Sambutlah seruan ‘Hayya ‘alas Solah’
Dgn penuh rela dan bersedia
Sambutlah seruan ‘Hayya ‘alal Falaah’
Jln kemenangan akhirat dan dunia

Ingatlah yg kekal ialah amal
Menjadi bekal sepanjang jalan
Menjadi teman di perjalanan
Guna kembali ke pangkuan Tuhan

Pada hari itu tiada berguna
Harta, takhta dan putera
Isteri, kartu kredit dan kereta
Kondominium, saham dan niaga
Kalau dahi tak pernah menyentuh sajadah di dunia

Oleh: Nina Amir

Ayah….
kenapa mereka melarangku untuk bertemu denganmu
mereka …menahanmu tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk memelukmu
tak memberikan kesempatan pula memeluk ibuku dan menghapus air matanya

Ibu….
aku melihat air mata menetes dari wajahmu setiap pagi
tanpa ada yang menghapusnya
aku hanya bisa mengadu sambil menatap matahari
dengan pandangan kosong
Ibu….
kapan aku bisa bertemu dengan ayah
adakah kepastian aku bertemu dengan ayah, wahai ibu….

Ayah…
engkau ada dimana, aku rindu kepadamu
aku ingin, air mata ibu yang menetes setiap hari itu, ada yang menghapusnya
aku ingin dipelukmu wahai ayah…..
Ayah….
engkau dimana?
mereka terus membangun pemukiman milik yahudi

aku bunga palestina
nomor ktp ku 70 ribu
sejak pagi aku belum bertemu dengan ayah…

hari raya demi hari raya
satu persatu anak Palestina lahir
satu persatu syahid berguguran
dan selama itu ayahku dibalik jeruji penjara Zionis Israel
dibalik tempat yang layak dihuni oleh seorang budak

kapan kah datang hari dimana ayahku bebas dari jeruji penjara
aku ingatkan kepada mereka yang setiap pagi bebas mencium pipi anaknya
aib, jika anda membiarkan ayahku terus dibalik penjara tanpa memberikan kesempatan menciumku
aku ingin ayah…..
aku ingin ayah kembali kepadaku…..

Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang di dunia.

Umurnya dapat mencapai 70 tahun. Tetapi untuk mencapai umur sepanjang
itu seekor elang harus membuat suatu keputusan yang sangat berat pada
umurnya yang ke 40.

Ketika elang berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi
panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya
menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan
tebal,sehingga sangat menyulitkan waktu terbang. Pada saat itu, elang
hanya mempunyai dua pilihan: Menunggu kematian, atau Mengalami suatu
proses transformasi yang sangat menyakitkan — suatu proses
transformasi yang panjang selama 150 hari.

Untuk melakukan transformasi itu, elang harus berusaha keras terbang
keatas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang ditepi jurang ,
berhenti dan tinggal disana selama proses transformasi berlangsung.

Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai
paruh tersebut terlepas dari mulutnya, kemudian berdiam beberapa lama
menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia
harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru
sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu
proses yang panjang dan menyakitkan.

Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh.

Elang mulai dapat terbang kembali. Dengan paruh dan cakar baru, elang
tersebut mulai menjalani 30 tahun kehidupan barunya dengan penuh energi!

Dalam kehidupan kita ini, kadang kita juga harus melakukan suatu
keputusan yang sangat berat untuk memulai sesuatu proses pembaharuan.
Kita harus berani dan mau membuang semua kebiasaan lama yang mengikat,
meskipun kebiasaan lama itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan
melenakan.

Kita harus rela untuk meninggalkan perilaku lama kita agar kita dapat
mulai terbang lagi menggapai tujuan yang lebih baik di masa depan.
Hanya bila kita bersedia melepaskan beban lama, membuka diri untuk
belajar hal-hal yang baru, kita baru mempunyai kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan kita yang terpendam, mengasah keahlian baru
dan menatap masa depan dengan penuh keyakinan.

Halangan terbesar untuk berubah terletak di dalam diri sendiri dan
andalah sang penguasa atas diri anda.

Jangan biarkan masa lalu menumpulkan asa dan melayukan semangat kita.

Anda adalah elang-elang itu. Perubahan pasti terjadi.

Sumber: NN

PERNIKAHAN ABADI

Oleh: Nina Amir

sahabat,
semesta ini cermin pernikahan abadi…

kau lihat mentari yang terus bersinar itu
ia pemurah
berbagi cahaya yang membebaskan dari gelap,
tanpa pernah berhitung

kau lihat samudera maha luas itu
ia pemaaf
menerima segala limpahan yang penuh cemar
maupun yang bening

kau lihat bumi yang kita pijak ini
ia penyabar
menerima maki, cerca dan pijak segala makhluk dalam diam

kau rasakan angin yang tak henti bertiup
ia memberi arah
mengajarkan untuk mengikuti sang imam agar tak tersesat

kau lihat air yang terus mengalir itu
ia setia,
seperti cinta kasih dan kesetiaan Bilqis pada Sulaiman

CARANYA MEMELUK HATIKU

Anonim

Aku belum lama bekerja di perusahan ini. Meski terbilang kecil, namun penghasilan dari perusahan ini tidak terbilang sedikit. Perusahan ini berlabel perdagangan dan jasa. Banyak yang dikerjakan, mulai dari pengadaan alat gerak, buku-buku silabus, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan belajar-mengajar siswa. Kantor yang dipergunakan pun menjadi satu dengan rumah bos kami yang kebetulan masih melajang di usianya yang ke tiga puluh delapan. Suatu ketika, aku mendengar langsung alasan kenapa bos tidak membuat kantor yang terpisah dengan rumah, padahal dari penghasilan per-bulan, bos sudah sangat bisa kalau hanya untuk membuat kantor sendiri. Bos mengatakan, supaya rumah tidak sepi. Hal itu ia katakan ketika untuk ke enam kalinya aku berkencan dengannya.

Aku memang bukan perempuan baik. Biasa orang bilang aku ini perempuan panggilan. Ya boleh-lah dikatakan aku ini sudah terlebeli oleh banyak laki-laki hidung belang sebagai ayam kampus yang tidak murah untuk menyewaku dalam semalam. Mungkin karena label itu juga yang membuat laki-laki yang akhirnya menjadi bosku itu hendak mengencaniku. Bahkan, ketika itu, aku dibayar duakali lipat. Dan setelah aku dipakainya berulangkali, baru kemudian aku ditawari kerja sebagai sekertaris. Tentu, label sekertaris itu hanya lebel saja. Aku diminta untuk tinggal di rumah yang bergabung menjadi kantor itu dan dijanjikan akan digaji setiap bulan dengan jumlah uang yang terbilang banyak. Aku tergiur dengan tawaran itu. Apalagi, boleh dibilang aset kekayaan bos boleh dibilang tidak sedikit. Memang, ketika itu aku hanya memikirkan keuntungan secara finansial. Aku berfikir, mungkin aku bisa mendapatkan uang lebih banyak lagi dari yang akan diberi setiap bulan, asalkan aku pandai ‘mendampinginya’.

Dugaanku benar. Setelah aku menyepakati permintaan dan beberapa perjanjian yang tak bisa aku sebutkan di sini, setelah aku kerja dan tingal satu rumah dengannya dengan label sekertaris, aku bisa mendapatkan uang ‘bonus’ di luar gaji. Apalagi bosku ini termasuk orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Ia sering mengajak karyawan-karyawannya untuk mabuk bersama, menghabiskan waktu di pub, dan semua itu bos yang menanggung biayanya. Terang saja, aku melihat, hal itu membuat karyawan-karyawannya juga senang, termasuk aku sendiri. Bahkan hampir tiap malam pun, rumah itu dijadikan tempat ngumpul untuk mabuk, berkelakar ke sana ke kemari, dan karyawan pun tidak sedikit yang menginap di rumah yang boleh dibilang besar itu.

Mereka pun akhirnya tahu, entah dari siapa, kalau aku ini adalah wanita panggilan yang dipekerjakan oleh bos. Mungkin mereka tahu dengan sendirinya, atau mungkin bos yang bercerita. Aku tidak peduli dengan semua itu. Yang terpenting aku dapat uang dan kebutuhan hidup bisa terpenuhi tanpa harus mengeluarkan biaya. Jadi aku bisa mengumpulkan uang lebih banyak lagi setiap bulannya dengan dalih untuk anakku yang aku titipkan kepada ibuku di Jawa sana. Aku tak perlu menceritakan bagaimana mulanya aku memutuskan untuk menjadi wanita panggilan di pulau ini. Yang jelas, sebenarnya bukan karena persoalan ekonomi.

Dua bulan sudah aku bekerja di perusahan ini, hingga pada suatu hari datang informasi kepadaku, kalau dalam beberapa hari ke depan, ada saudara jauhnya bos yang akan datang, menetap, sekaligus bekerja di rumah ini. Bos bilang, kalau saja keluarganya tidak berhutang budi dengan keluarganya saudara jauhnya itu, bos tidak akan mengizinkan untuk datang dan bekerja di sini. Apalagi, katanya keluarga saudara jauhnya itu adalah keluarga yang agamis. Bos dengan gamblang mengatakan, bisa jadi kehadirannya hanya akan menjadi duri dalam daging berkait dengan gaya hidup bos yang selama ini dijalaninya. Bos sendiri juga akhirnya bercerita, kalau keluarganya bos yang semuanya berada di Jawa pun tak pernah mengerti tentang gaya hidupnya di pulau ini. Bos khawatir, kalau dengan datangnya saudara jauhnya itu, akan membuat keluarga bos di Jawa tahu semuanya. Bahkan menurut salah satu karyawan, mengatakan kalau keluarga bos sendiri boleh dibilang agamis.

Tidak hanya satu dua kali, ketika ada salah satu keluarganya bos yang datang, maka bos pun pura-pura merubah gaya hidupnya, semuanya dibikin pura-pura. Aktivitas yang berlangsung pun selayaknya aktivitas kerja biasa. Bos yang tadinya tidak pernah ke masjid pun melangkahkan kaki ke masjid. Dan semua itu bos lakukan supaya tidak membuat keluarganya kecewa terhadap gaya hidup yang sudah mendarah daging dan dijalaninya selama bertahun-tahun. Setelah keluarganya pulang ke Jawa kehidupan bos kembali seperti semula.

Aku pun menjadi mengerti, kenapa rencana datangnya saudara jauhnya itu membuatnya stress. Bos mengatakan, bagaimana mungkin aku harus terus menerus berpura-pura. Dalam hati sebenarnya aku tertawa. Lucu memang. Menggelikan. Tapi aku bisa sekali merasakan. Sama ketika aku sedang pulang ke Jawa. Satu dua hari pertama aku pun stress dengan kepura-puraanku. Namun, setelah tiga hari, dan aku kembali merasa menjadi seorang ibu, melihat anakku, aku menyadari kalau pilihanku menjadi wanita panggilan ini tidak-lah baik, melanggar aturan agama, dan lain sebagainya. Namun, setelah kembali pulang ke pulau ini, kesadaran yang sempat hinggap itu pun berubah seketika. Aku bisa menikmati kembali kehidupanku sebagai wanita panggilan.

Dua hari sebelum saudara jauhnya datang, bos pun sudah menyusun skenario. Rumah dibersihkan. Botol-botol minuman pun disingkirkan. Bos pun meminta seluruh karyawan untuk menghentikan semua aktivitas mabuknya untuk sementara. Aku pun dicarikan indekos yang tidak jauh dari rumah itu. Aku tidak mempersoalkan, apalagi bos mengatakan semua itu hanyalah cara, dan aku tetap bisa mendapatkan fasilitas-fasilitas seperti biasanya.

***

Aku masih ingat, hari itu hari Minggu. Sore hari aku diantarkan bos ke indekos sebelum bos ke bandara untuk menjemput saudara jauhnya itu. Aku bisa menebak apa yang tersembunyi di dalam dadanya melihat mimik wajahnya. Dan aku hanya bisa mengatakan bahwa rencana bos pasti akan berhasil.

Keesokan harinya, ketika aku berangkat kerja, itulah pertamakalinya aku berkenalan dengannya. Bos memang seorang pemain yang pintar. Wajahnya sama sekali tidak terlihat terganggu dengan kehadiran saudara jauhnya itu, malah aku melihat bos menjadi sangat ramah dan murah senyum, termasuk ketika memperkenalkanku kepada saudara jauhnya bos itu.

“Dia ini jagonya ngaji.
“Dia ini lulusan pesantren.
“Kalau mau nanya tentang agama, kamu bisa sama Malik ini!
“Pasti dengan adanya Malik, anak-anak jadi rajin sholat!”

Dalam hati aku tertawa mendengarkan ucapan bos itu.

Iya, itu-lah pencitraan yang memang bos tanamkan tentang Malik, tidak hanya kepadaku saja, tetapi juga kepada karyawan-karyawan lainnya. Dan aku tahu sekali apa maksud terselebung di balik pencitraan yang bos tanamkan itu. Kami pun memperlakukan Malik benar-benar seperti seorang pakar agama yang sangat kami butuhkan, seperti yang diperintahkan bos. Iya, kami akan menggiring supaya setidaknya ia merasa menjadi seorang ustadz bagi kami.

Nyatanya, dalam tiga hari ini, Malik tidak pernah membicarakan soal agama, kecuali ada yang bertanya. Dan itu pun ia jawab dengan sangat rendah hati. Aku tahu kalau sebenarnya ia mengerti tentang banyak hal. Namun ia pun menjawab dengan jawaban yang sangat biasa, tanpa dicampuri dengan ajakan, tanpa ditegaskan benar dan salahnya. Dan itu membuatku menjadi menyimak apa yang tuturkan dengan sangat santun dan lemah lembut itu. Dari yang tadinya mau berpura-pura mendengarkan, malah jadi mendengarkan dan aku menjadi mulai mengerti apa-apa yang tak aku mengerti sebelumnya.

Ketika waktu sholat tiba, ketika Malik ingin sholat, ia pun meninggalkan pekerjaannya begitu saja, tanpa mengecam kami yang sedang asik bekerja sambil mendengarkan lagu yang sengaja kami putar keras. Ketika ditanya, Malik hanya menjawab, mau ke sana. Padahal kami tahu ke sana yang dimaksud Malik itu mau ke masjid. Atau terkadang masuk kamar hendak shalat.

Salah satu tugasku dengan hadirnya Malik adalah menyiapkan makan siang khusus untuknya dan menemaninya makan siang di ruang makan. Di ruang makan itu juga biasanya para karyawan makan. Dan inilah yang membuat aku heran dan menjadi mulai sungkan kepadanya. Malik tak pernah mau dibedakan dengan alasan saudaranya bos. Malik tak mau diistemewakan. Malik tak mau ditemani makan sebelum karyawan-karyawan lainnya makan katering bersama-sama. Bahkan Malik mengatakan kalau ia juga ingin makan siang dengan katering saja, bukan dengan nasi dan lauk yang sengaja disediakan dan di bedakan lauk-pauknya dengan karyawan-karyawan lainnya.

Bos pun menjadi heran. Malik tidak seperti yang dibayangkannya. Malik tidak mudah untuk ditinggikan. Bos pun akhirnya menuruti apa yang diinginkan Malik, setelah pura-pura mengatakan kalau seharusnya Malik tak harus merasa dibedakan dan diistemewakan. Kini bos menambahi skenario. Ketika azan berkumandang, semuanya harus berhenti bekerja dan sholat berjamaah bersama Malik di rumah. Namun, sewaktu dhuhur dan ashar, bos pasti tidak ada. Aku tahu, ia pasti sedang menghindar. Apalagi di balik semua itu ada rencana yang sebenarnya aku sadari sangat jahat. Tapi apa mau dikata. Aku tetap melihat dengan kaca mata uang ketika itu.

Ketika kami hendak berjamaah, kami selalu mendorong Malik untuk menjadi imam. Namun selalu, sebelum menjadi imam, Malik selalu menawari karyawan-karyawan untuk menjadi imam. Itu selalu ia lakukan. Meski, terkadang pada akhirnya terkesan basa-basi, karena semua juga tahu kalau Malik yang akan menjadi imam, namun lama-lama aku sendiri menjadi semakin mengerti kalau Malik ini orangnya sangat rendah hati dan tidak memandang dirinya lebih suci dari siapa pun. Sejak saat itu, aku mulai mengira, bisa jadi rencana jahat bos ini akan menjadi senjata makan tuan baginya. Apalagi, semua karyawan mulai merasakan sifat Malik yang kami sadari sangat baik dan luhur. Kami lama-lama menjadi sungkan dengannya. Ia seperti membaca semuanya benar-benar tanpa prasangka buruk. Dan ada satu hal yang memang membuatku menjadi tak mengerti, saat aku menyadari, kalau diam-diam aku selalu merindukan untuk diperhatikannya. Padahal aku tahu, Malik pun melakukan kami semua sama, baik dalam perhatian, kepedulian, dan lain sebagainya. Tapi, kenapa aku tidak bisa memungkiri kalau ada perasaan tidak terima ketika Malik sedang memperhatikan salah satu dari kami, sementara aku seolah dinomorduakan.

Tiga minggu sudah Malik bekerja. Bos mulai nampak terlihat ketidaknyamanan. Ia seperti merasa terjebak dengan permainannya sendiri. Dan entah kenapa, aku pun menjadi merasa sangat nyaman ketika berada di dekatnya. Aku menjadi semangat ingin berangkat kerja hanya untuk bertemu dengannya dan bertanya ini-itu tentang agama. Hingga akhirnya bos mulai memikirkan cara kembali untuk rencana tidak baiknya. Apalagi, para karyawan pun menjadi semakin sungkan dengan keluhuran budinya. Bahkan kadang, kami menjadi lebih menghormati Malik daripada bos kami sendiri.

Di minggu ke empat, bos mulai akan terang-terangan. Ia mengatakan supaya kami menghentikan aktivitas sholat berjamaahnya dengan cara yang halus. Karena nyatanya selama ini Malik memang sangat sulit ‘diserang’, ditinggikan, untuk kemudian dijatuhkan. Aku sendiri sebenarnya benar-benar heran. Sudah berulangkali aku memancing pembicaraan yang menjurus kepada hubungan intim, namun selalu tidak membuahkan hasil. Karena, memang itulah peran yang seharusnya aku mainkan. Ketika Malik benar-benar merasa menjadi seorang ustadz, aku kemudian diminta merayunya dengan segala cara supaya Malik mau menyentuhku, kemudian jatuhlah Malik. Bos akan merasa punya ‘kartu as’nya Malik. Jadi ia bisa kembali bebas melakukan apa pun tanpa khawatir Malik akan memberitahu keluarganya di Jawa, karena kalau sampai Malik memberitahu, bos akan membalasnya dengan membongkar semua yang dilakukan Malik kepadaku.

Memang, sudah berulangkali Malik diminta bos untuk mengantarkanku pulang ke indekos dengan harapan sesampainya di indekos Malik akan tergoda, lupa diri, dan mulailah tergoda dengan semua muslihat. Namun, semua tidak pernah mempan. Aku sendiri heran. Aku menjadi semakin yakin kalau Malik memang laki-laki baik, bahkan tak pernah menampakkan rasa curiga dan kebenciannya kepadaku, kalau pun ia merasa tergoda dengan sikapku yang mencoba meruntuhkannya itu. Itulah yang membuatku menjadi semakin tertarik kepadanya. Entah kenapa, aku menjadi merasa menjadi orang baik ketika bersamanya.

Ketika karyawan-karyawan tidak lagi berjamaah, Malik pun tidak pernah mengoprak-oprak kami untuk sholat berjamaah. Satu pun kata untuk mengajak tidak pernah keluar dari mulutnya. Ia hanya seperti sebelumnya, hanya meninggalkan pekerjaannya, kemudian masuk ke kamar, atau kalau tidak mengatakan mau ke sana kalau ditanya, padahal ia akan berangkat ke masjid. Sungguh, dalam hati aku ingin sekali ikut dengannya. Namun, aku tidak mungkin menyertainya. Dan dengan perubahan kami yang tiba-tiba itu pun samasekali tidak membuat Malik berubah atau berpandangan lain terhadap kami. Malik selalu menunjukkan sikapnya yang luhur dan selalu baik kepada kami. Bahkan picingan mata sekalipun aku tidak pernah mendapatkannya. Dan aku menjadi semakin tahu, meski Malik tidak pernah mengucapkan secara lisan untuk mengajakku beribadah, namun sikap-sikapnya itu sudah sangat cukup menjelaskan kepadaku.

Satu bulan setengah Malik berada di pulau ini, bekerja di sini. Bos semakin bingung dengan keluhuran budinya itu. Kemudian, tepatnya di hari Kamis, bos membuat sebuah rencana baru. Aku sengaja diminta untuk menemaninya menagih uang di sebuah kota yang lumayah jauh, enam jam perjalanan untuk sampai sana. Bos berharap kami akan menginap dalam satu kamar di sebuah losmen kecil yang biasa bos gunakan sewaktu keluar kota. Aku sendiri sebenarnya tidak begitu yakin, apakah dengan cara seperti itu Malik akan tergoda, tapi bos akan tetap mencoba dengan cara itu.

Kami akhirnya berangkat. Dan benar. Kami harus bermalam di sebuah losmen itu. Seperti yang sudah bos rencanakan. Sebelumnya bos sudah menghubungi losmen langgannya itu supaya ketika aku tiba, pihak losmen mengatakan kalau hanya tersisa satu kamar. Ketika mendengar jawaban itu, aku tahu dari mimik wajah Malik, kalau sebenarnya ia meragukan keterangannya itu. Namun ia hanya diam dan itu berarti kami akan satu kamar dengannya untuk menginap semalam.

Aku menjadi sangat kasihan dengannya. Aku bingung, bagaimana harus menyikapinya. Di satu sisi aku harus melaksanakan perintah bos, namun di satu sisi aku tidak tega kalau semua ini harus terjadi kepadanya. Sungguh, entah kenapa, semakin ke sini, semakin mengenalnya, aku menjadi semakin berpihak kepada Malik. Tapi entahlah. Aku biarkan kebingungan itu. Yang terjadi, biar terjadilah, begitu pikirku malam itu.

Kami mulai masuk ke dalam kamar. Jujur, aku menjadi tidak seperti biasanya. Jantungku berdetak cepat. Kenapa aku menjadi gugup seperti ini? Untuk menutupi kegugupanku, begitu masuk dan meletakkan barang, aku langsung menyalakan televisi. Sementara Malik masuk ke dalam kamar mandi. Setelah keluar, Malik kemudian mengambil sajadah dari dalam tasnya, lalu menggelarnya. Malik mau sholat rupanya. Ia kemudian memintaku supaya mengecilkan volume suara televisi. Televisi itu pun kemudian aku matikan saja. Ia hendak sholat magrib digabung dengan sholat isya’. Dan itu ia lakukan tanpa mengajakku.

Sembari memperhatikannya sholat, kedua mataku jadi berkaca-kaca. Aku ingin sekali menangis. Aku ingin sekali sebenarnya memeluknya, namun aku tidak mungkin melakukan itu. Aku semakin kagum dengannya.

Setelah Malik sholat, melihat aku yang akhirnya menangis, ia pun menanyakannya alasan kenapa airmataku keluar. Aku pun benar-benar tidak bisa menutupi apa yang selama ini aku tutup-tutupi. Aku semakin kasihan dengannya. Aku kemudian menceritakan semuanya, termasuk siapa aku. Malik hanya diam sambil mendengarkan. Sesekali raut wajahnya terlihat kecewa. Namun itu tidak lama, beberapa detik kemudian wajahnya tampak kembali seperti biasa. Setelah aku selesai bercerita, aku kemudian bertanya:

“Apa kamu tidak pernah merasa, Mas?”
“Aku pernah merasa kok, In.” Jawabnya, tenang.
“Termasuk aku yang selalu berusaha menggodamu?”

Malik hanya mengangguk, kemudian meminta maaf.

“Seharusnya aku yang meminta maaf Mas, bukan kamu.” Kataku.

Malik hanya diam.

“Kamu tidak malu berteman dengan pelacur sepertiku?” Tanyaku.
“Apa yang membuatku malu, In? Aku tidak lebih baik dari kamu, dari siapa pun. Dan aku tidak mau memandang siapa saja dari kacamata itu. Toh aku tidak bisa memastikan kalau aku lebih baik dari kamu, dari siapa pun, In.”
“Terus apa yang ingin kamu lakukan setelah mengerti semua ini?”
“Seperti biasanya, In.”
“Meskipun kamu diperlakukan seperti itu?”
“Insya Allah.”

Aku tak tahu, apakah dalam hati Malik menginginkan supaya aku meninggalkan semua yang aku jalani selama ini. Tapi, sungguh, tanpa harus aku tahu, tanpa harus mendengar penjelasan dari mulutnya secara gamblang, keluhuran budinya, kebaikan-kebaikannya, sikapnya yang bagiku sangat mempesona, sudah lebih dari ajakan bagiku untuk memperbaiki diri. Indah!

LUCU YA …

Oleh: Nina Amir

Lucu ya, uang Rp 20.000an kelihatan begitu besar bila dibawa ke kotak amal mesjid, tapi begitu kecil bila kita bawa ke supermarket….

Lucu ya, 45 menit terasa terlalu lama untuk berzikir, tapi betapa pendeknya waktu itu untuk pertandingan sepakbola….

Lucu ya, betapa lamanya 2 jam berada di Masjid, tapi betapa cepatnya 2 jam berlalu saat menikmati pemutaran film di bioskop….

Lucu ya, susah merangkai kata untuk dipanjatkan saat berdoa atau sholat, tapi betapa mudahnya cari bahan obrolan (gossip) bila ketemu teman….

Lucu ya, betapa serunya perpanjangan waktu dipertandingan badminton favorit kita, tapi betapa bosannya bila imam sholat Tarawih bulan Ramadhan kelamaan bacaannya….

Lucu ya, susah banget baca Al-Quran 1 juz saja, tapi novel best-seller lebih dari 100 halaman pun habis dilalap….

Lucu ya, orang-orang pada berebut paling depan untuk nonton konser, tapi berebut cari shaf paling belakang bila Jum’atan agar bisa cepat keluar….

Lucu ya, kita begitu percaya pada yang dikatakan koran, tapi kita sering mempertanyakan apa yang dikatakan Al Quran….

Lucu ya, kita bisa ngirim ribuan jokes lewat email, tapi bila ngirim yang berkaitan dengan ibadah sering mesti berpikir dua-kali….

Lucu ya, semua orang penginnya masuk surga tanpa harus  beriman, berpikir, berbicara ataupun melakukan apa-apa tapi….

Lucu ya …!

Oleh: Fatin Hamamah

ketika sepotong besi jadi tombak
besi tak pernah tahu
untuk apa dia dijadikan tombak

ketika sepotong besi jadi pisau
pisau tak pernah tahu
untuk apa dia jadi pisau

ketika sepotong besi jadi peniti
peniti tak pernah tahu
untuk apa dia jadi peniti

kecuali suatu hari tombak
dijadikan alat pembunuh
dan bersarang di jantung kini
tombak mengeluh
aku tak ingin jadi seperti ini

demikian pisau
ketika menemukan dirinya
di leher sebagai penebas
pisau mengaduh
aku tak bercita-cita begini

Ketika besi-besi yang menjadi senjata
berubah fungsi
diam-diam peniti mensyukuri
aku menjadi penyemat baju
seorang sufi setiap hari aku dibawa
rukuk sujud dan mensyukuri
nikmat Tuhan yang diberi
aku tak ingin patah
biar berkarat aku kini

Jakarta, Desember 2000

SYUKUR TULUSKU

Alhamdulillah, dengan tulus aku bersyukur kepada-Mu ya Allah, aku rela dan dan ihlas menerima segala yang terjadi padaku, yang aku alami, yang aku ketahui, dan yang aku miliki hingga saat ini.

Alhamdulillah, dengan ihlas aku bersyukur kepada-Mu ya Allah, bahwa Engkau telah menjadikan aku sebaik-baik ciptaan-Mu, cerdas, selalu bersemangat, percaya diri, dan ceria menjalani kehidupan ini.

Alhamdulillah, dengan pikiran jernih aku bersyukur kepada-Mu ya Allah, Engkau telah memberikan aku kesehatan yang sempurna, hidayah, dan modal berlimpah sehingga aku mampu untuk terus belajar dan mengembangkan diri meraih impian-impianku untuk menjadi hamba terbaik-Mu.

Alhamdulillah, dengan hati yang bersih aku bersyukur kepada-Mu ya Allah, Engkau telah menjadikan aku orang yang beriman kepada-Mu, berkomitmen, amanah, kretif, rajin, dan disiplin untuk terus berusaha meraih impian-impianku.

Alhamdulillah, dengan hati yang tulus aku bersyukur kepada-Mu ya Allah, ternyata Engkau telah menjadikan aku sebagai orang yang senantiasa mengeluarkan kata-kata positif, kata-kata yang menguatkan, dan kata-kata yang menyemangati sehingga hidupku semakin baik.

Alhamdulillah, dengan penuh bahagia aku bersyukur kepada-Mu ya Allah, ternyata Engkau telah menjadi aku sebagai magnet uang dan magnet orang sebagai bekal untuk memberikan karya terbaik di dunia dan di akherat kelak.

Alhamdulillah, dengan perasaan senang dan gembira aku bersyukur kepada-Mu ya Allah, ternyata Engkau selalu memberikan kekuatan kepadaku untuk menegakkan syaria’ah-Mu, memperlancar usahaku, mempermudah urusanku, dan mengabulkan permintaan-permintaanku.

Alhamdulillah, dengan keyakinan yang kuat akan ridho-Mu aku bersyukur kepada-Mu ya Allah, karena aku selalu aktif menghasilkan karya nyata dan berbagi manfaat dengan ihlas di kehidupan di dunia ini sebagai wujud pengabdianku kepada-Mu.

Semakin sering aku membaca syukur tulusku ini, aku semakin sehat, kaya, bahagia, dan bertaqwa. Alhamdulillah hidupku semakin berlimpah dan berkah. Amin.

AKU DI HATIMU SEKARANG

Oleh: Marsiraji Thahir

Aku tak mengira, betapa kisah ini mengalir seperti air keperakan, mengajariku tentang gemericik hujan, kemudian dalam hening Engkau mengundangku: Aku tak pernah melupakanmu, wahai Fulan! Bagaimana aku bisa menyangkal, sementara aku selalu merasakan Engkau datang! Bagaimana aku bisa diam, sementara Engkau selalu mengajariku berbagai warna kebahagiaan! Bagaimana aku harus tak mendengarkan, sementara setiap kalimat yang Engkau sabdakan seperti reaktor yang dapat meruntuhkan jarak yang tak mungkin kuperhitungkan! Bagaimana aku harus tak melaksanakan, sementara Rasul yang Engkau utus adalah pribadi mulia tak terbandingkan. Terima kasih, Tuhan ….

Oleh: Mohammad Qaina Bilqish

Ade, bagaimana kabar kalian di sana? Taukah De, ternyata naik kapal itu tidak enak. Kepala pening, dan berulangkali membuatku muntah. Dan ternyata, jalan kaki itu lebih enak daripada naik kapal. He3. Tapi, mau bagaimana lagi, De. Ini harus aku lakukan. Kan juga tidak mungkin, untuk sampai di sana, aku harus jalan kaki. Bisa gempor nanti kakiku ini, De. Dan juga aku kan tidak punya ilmu meringankan tubuh biar bisa berjalan di atas lautan. He3. Naik pesawat terbang apalagi. Mahal. Mendingan uangnya buat keperluan kalian di sana. Toh akhirnya akan sama-sama sampai tujuan juga, meski kalau naik kapal itu jauh lebih lama daripada naik pesawat terbang yang katanya enak. Tapi bagaimana rasanya naik pesawat terbang ya, De? He3.

Sekarang sudah pukul tiga sore, De. Menurut informasi, sebentar lagi kapal ini akan berlabuh. Dan itu berarti aku akan sampai di sebuah pulau yang katanya indah dan mempesona itu. Namun, tentu bukan itu maksud dan tujuan kenapa aku harus menginjakkan kaki sampai ke pulau itu. Aku yakin, kalian pasti bertanya-tanya dan selalu menanyakan banyak hal. Aku sebenarnya juga ingin membuka semuanya, bercerita secara lengkap kepada kalian sebelum pamitan dua hari yang lalu. Tapi aku masih tidak sanggup, De. Sebab, aku pasti akan menangis kalau bercerita tentang semua itu. Tapi aku janji, suatu ketika nanti, kalau sudah tiba waktunya, kalian pasti akan tahu. Dan sekarang, yang terpenting, aku berharap, kalian selalu baik-baik saja di sana ya dan jangan lupa, selalu mendokan aku.

***

Hay, ternyata benar. Kapal ini mau berlabuh, semakin mendekati pulau. Sudah tidak sabar rasanya De, ingin segera menginjakkan kaki di pulau itu. Bisa segera mencari nafkah. Bisa segera mengirimi uang untuk biaya sekolah dan kebutuhan-kebutuhan hidup kalian. Dan satu lagi, bisa membayar hutang. He3. Kalian tidak tahu kan, kalau untuk biaya perjalanan ini aku meminjam uang sama Pak Tikno. Tapi tidak mungkin aku bilang sama kalian. Karena, memang kalian tidak perlu tahu! He3.

Tahu tidak De, seminggu yang lalu, sewaktu kalian mengeluh karena tenda pengungsian yang kita tinggali itu sudah tidak lagi nyaman, apalagi kalau hujan turun di malam hari, kalian pun harus usel-uselan di dalam selimut, bahkan kadang berantem rebutan selimut. Setelah melerai dan menenangkan kalian, aku pasti keluar tenda. Untuk apa coba, De? He3. Karena aku ingin menangis. Hu ..Hu.. Hu … Aku tidak tega melihat kalian, De. Aku tidak bisa melihat keadaan kalian. Tapi, biar bagaimana pun, dengan tidak lagi mengharapkan bantuan dari pemerintah, seperti yang sudah dijanjikan tapi tak terealisasi-terealisasi juga, aku akan tetap terus berusaha dengan kakiku sendiri, De. Tuhan, peluk kami selalu. Kuatkan kami. Jaga mereka selalu. Dan izinkan aku untuk memulai membuka lembaran hidup baru di pulau yang sebentar lagi akan aku singgahi itu.

KEINDAHAN SILATURAHMI

Oleh: Rini Intama

… Peliharalah kasih sayang ini

pada sebuah silaturahmi yg indah …

Kuatkan tangan-tangan kami agar bisa saling menggenggam …

Kuatkan pikiran kami agar bisa saling mengingat …

Kuatkan hati kami agar bisa saling menguatkan …

Kuatkan pundak-pundak kami agar bisa saling bersandar …

Kuatkan cinta kami agar bisa terus saling mencintai …

www.riniintama.wordpress.com

KERUDUNG PUTIH

Oleh: Lies Soca

Jika suatu hari nanti mendapatiku sedang berkalung syal berwarna putih tulang, maka di saat itulah aku sedang menggigil karena rindu pada Ibu yang tak tertahan lagi. Bukan karena sedang musim model syal, bukan pula sebenarnya itu adalah syal. Dia adalah kerudung putih tulang segi tiga, dan berenda sederhana di tepiannya. Yang digunakan ibuku saat menikah dengan Bapakku sebagai penutup kepala, melengkapi kebaya dan jarik sidomuktinya.

Bukan hanya itu saja nilai istimewa di sejarah peristiwanya. Kerudung putih tulang segitiga dan berenda sederhana di tepiannya itu adalah penutup kepalaku, saat pertamakali aku ikut beribadah di hari pertama Ramadhan. Lies kecil itu berumur 5 tahun. Dari apa yang dia dengar di mana-mana, dari apa yang dia lihat orang-orang bertingkah laku, dari apa yang dia rasakan atas semua kegiatan ibadah yang diajarkan, Lies kecil hanya bisa menangkap makna bahwa sepertinya yang namanya Ramadhan itu adalah hal yang istimewa.

Hari pertama itu kerudung putih menyelamatkan Lies kecil dari rasa malu. Berkat ibuku juga pastinya.

“Buk, nanti malam lies ikut ke langgar ya.”

“Ya…”

“Jadi, Lies nanti dibeliin rukuh?”

“Lies mau dibeliin rukuh?”

“Iya. Itu lho yang seperti punya Yeni, dik Ria, dik Ice, Mbak Febri, Mbak Ivo. bagus-bagus Bu, berenda-renda. Lies mau…mau yang seperti itu.”

“Tapi tidak sekarang, Nduk. Bapak dan Ibu belum bisa beli. Uangnya belum cukup. Maaf ya…”

“Jadi, Lies ndak bisa ikut ke langgar?”

“Ya bisa dong.”

“Pakai apa? Lies pasti diketawain temen-temen. Lies nggak mau ke langgar sampai besok-besok kalo nggak dibeliin rukuh!!”

“Lies bisa pakai baju yang panjang dan rapi.”

“Lies malu sama temen-temen.”

“Kita ke langgar untuk berdoa. Dan coba lihat ini, Lies bisa pakai kerudung Ibu.”

Didandaninya aku. Pakai baju yang panjang, dan kerudung sigitiga miliknya. Dia hanya bilang bahwa aku cantik sekali. Dan aku selalu percaya padanya, karena Bapak juga mengiyakan. Itu disebabkan oleh kondisi rumahku yang saat itu memang tak punya cermin besar. Akupun hanya sesekali melihat Ibuku bercermin, itupun pada cermin bekas bedaknya dulu yang sudah retak separuhnya.

Seingatku sebelum berangkat dia bilang,
“Tuhan hanya akan melihat hati kita saat beribadah, Nduk. Bukan pada apa yang kau pakai. Kalau ada yang menertawakanmu nanti yang seperti ini, ya biarkan saja. Kita maklumi saja ya. Karena orang lain tidak bisa melihat isi hatimu. Bahkan Ibu ini juga tidak bisa melihat isi hatimu. Mereka tidak akan mengerti betapa isi hatimu begitu cantik. Tapi jangan kuatir, Tuhan pasti mengerti. Jika kamu bersungguh-sungguh mencintai-Nya.”

Betapa berbunga-bunga aku berangkat dengan berjalan kaki diapit oleh Bapak dan Ibu menuju langgar. Benar dugaanku, bahwa teman-temanku punya rukuh, sarung, dan peci baru di hari pertama Ramadhan. Tak meleset juga prasangkaku bahwa akan muncul tawa-tawa dan ejekan getir, setelah melihat penampilanku. Seketika aku berhasil diciutkan. Saat duduk di sebelah Ibu kurapatkan tubuhku, dan ingin menyembunyikan sekujur tubuhku di dalam rukuhnya. Mataku mulai merebak panas dan kabur. Ibu segera paham kondisiku rupanya.

“Hei…apa kau lupa kata-kata ibu tadi. Mari kita maklumi saja mereka. Sekarang yang penting adalah segera beritahu pada Tuhan hatimu yang cantik, yang berdoa dengan sungguh-sungguh. Coba perhatikan, apakah mereka sudah lebih baik dengan mengejekmu, meskipun rukuh dan sarungnya baru? Apakah kau suka sikap itu?”

Seketika entah kenapa aku menjadi sangat memperhatikan hatiku. Seolah Tuhan di tempat-Nya sana sedang melihat hatiku. Apakah hatiku sudah benar-benar cantik? Apakah sudah benar-benar sungguh-sungguh mencintai-Nya. Sepanjang sembahyang yang kulakukan (meski hanya ikut-ikutan), aku menjadi sangat sibuk untuk melihat hatiku sendiri. Sangat sibuk! Membayangkan Tuhan sedang menyaksikanku yang berusaha mempercantik hatiku sendiri, dan berdoa sesukaku pada-Nya. Yang salah satunya adalah aku ingin sekali punya rukuh baru. Oya, sesekali aku melihat teman-temanku hanya sibuk bermain-main dan tertawa-tawa entah oleh apa. Dan lies kecil saat itu hanya bisa melihat mereka tak pantas begitu, karena dengan rukuh barunya tak dipakai juga untuk berbicara pada Tuhan.

Dan bulan kemarin, saat pulang ke rumah, aku diminta Ibu membongkar almari pakaiannya, sekaligus menatanya kembali menjadi lebih rapi. Di bagian paling bawah dan pojok, terjepit kain putih yang benar-benar usang. Dia pasti sudah pengap sendiri di sana dalam waktu yang sangat lama. Dialah kerudung segitiga, putih tulang, dan berenda sederhana tepiannya.

Esoknya, saat membantuku merapikan pakaian ke dalam tas ransel yang akan kubawa kembali ke Jogja Ibu ternyata kaget.

“Ini buat apa dibawa?”, sambil tertawa geli.

“Ibu lupa? Ini yang membuat aku percaya bahwa Tuhan lebih ingin melihat hatiku. Kalau Ibu tidak meyakinkanku dulu, mungkin aku akan menjadi orang yang sibuk mencari kesempurnaan diriku yang kelihatan oleh mata saja. Mungkin aku hanya akan mengejar nilai-nilai dari orang lain.”

Ibu hanya tersenyum. Sangat dalam.

08012010, Jogjakarta

Oleh: Mellisa

Apakah ini tempat terbaik untukku? Tempat yang diberikan oleh-Nya untukku?

Pagi itu, aku bertemu dengan orang-orang baru, dengan ramahnya saling menyapa. Mereka berbagi cerita, memberi sedikit gambaran. Setelah diberi arahan dan dikenalkan dengan beberapa orang, kami diajarkan mengenai penanganan surat. Selanjutnya kami hanya duduk dan bercerita, sampai akhirnya satu persatu temanku dipanggil dan diberi amanah untuk mengerjakan sesuatu. Sedangkan aku, masih duduk terdiam, tanpa mengerjakan sesuatu.

Kulihat di sekelilingku, ruangan yang tidak terlalu besar terdiri dari 9 meja mengisi setiap sisi ruangan, beberapa kursi yang berpasangan dengan meja, 1 buah komputer di meja pojok, dan 1 buah mesin tik di sebelahnya. Meja-meja itu sepertinya sudah ada yang menghuninya. Dari dalam ruangan itu juga terlihat ruangan lain di sebelahnya, ukuran dan fasilitasnya kurang lebih sama dengan ruangan lainnya.

Di tengah lamunanku yang berlari entah ke mana, seorang Bapak (salah satu petinggi di sana) memanggilku untuk sekedar berkenalan dan berdiskusi. Hmm, mungkin karena melihatku sendirian dan belum mengerti apa yang harus aku kerjakan sementara yang lainnya sudah mengerjakan sesuatu? Dia kemudian bercerita panjang lebar mengenai tempat itu, bagaimana menempatkan diri, bahkan tentang apa yang mungkin bisa dilakukan seorang statistisi di sana nantinya.

Pemikirannya sedikit mengobati rasa penasaranku tentang apa yang bisa kulakukan di sana dengan ilmu yang sudah kudapat sebelumnya. Ada beberapa nasehat dan pandangannya yang masih kuingat:

Pertama; Belajarlah sebanyak-banyaknya. Jika memang belum ada yang bisa dikerjakan, cobalah membaca.

Kedua; Jangan suka pilih-pilih kerjaan. Walaupun sarjana hendaknya tidak ‘bau’ dengan kerjaan, meskipun hanya membuat amplop.

Ketiga; Jika punya keahlian dalam bidang komputer (mengetik dan lain sebagainya) dan dimintai bantuan hendaknya membantu yang lainnya. Jangan asik dengan pekerjaan sendiri. Kita harus juga tahu pekerjaan rekan-rekan lainnya.

Keempat; Berhematlah. Walau gaji tak seberapa, tapi pikirkanlah untuk mulai berhemat. Lihatlah yang lainnya, dengan gaji yang sama tapi mampu menghidupi keluarganya. Cobalah sedikit demi sedikit menabung. Belum tentu yang pendapatannya tinggi bisa menabung, karena semakin tinggi pendapatan biasanya semakin besar pengeluarannya.

Kelima; Bersyukur.

www.visakana.wordpress.com

Jika kita ingin berbahagia, kita yang harus membahagiakan diri kita sendiri. Bukan dengan menyalahkan orang lain yang (kita putuskan) tidak peka terhadap kebutuhan kita untuk merasa damai dan bersyukur –Riana Mutiara Sari

AKU BELUM INGIN PULANG, BU

Oleh: Yoz Vdrxa

Aku belum ingin pulang, Bu
Cintaku masih tertahan di dinding kota
Warnanya masih pekat, belum memudar
Cinta itu adalah Cinta yang kau tanam di jiwaku dulu, Bu

Semalam aku bertemu Malaikat
Ia berjanji akan membawa mimpiku padamu malam ini
Agar Kau tahu begitu besarnya mimpiku

Ibu, dulu Ayah pernah berpesan,
“Taklukkan mimpimu, meskipun hatimu menangis pilu.”
“Kau adalah Jantan, pantang bagimu meratapi nasib.”
“Kau berhak menentukan nasibmu sendiri, Kau adalah ketetapanmu sendiri, Anakku.”

Aku rindu kampung
Rinduku pun padamu
Dan Rumah teduh itu tak tertahankan
Saat ini,
Aku ingin Kau genggam tanganku
Agar tenang jiwaku, hilang resahku

Kau memelukku panjang
Seakan lama Kau tak akan memandangku
Matamu berkaca, namun senyummu hantarkan ku menuju mimpi itu

Aku pergi lagi, Ibu …

BIDADARI KECILKU

Oleh: Greeny Azzahra

Saat pertama kali mengajar, aku melihat Najwa sebagai sosok yang tak menonjol, kata-kata tak sering terdengar darinya. Mungkin dia memang pendiam, pikirku saat itu.

Tapi entah kenapa lama-lama kedekatan kami jadi semakin terasa. Padahal Najwa tipe anak yang cenderung sulit didekati. Setiap hari, saat murid-murid membuat lingkaran, Najwa pasti selalu meminta duduk bersebelahan denganku.

Suatu hari aku tergelitik bertanya perihal kebiasaan Najwa yang setiap pagi selalu meminta mencium pipiku,

“Najwa, kenapa Najwa senang mencium pipi Ibu?” tanyaku.

“Sayang,” jawabnya pendek.

Kata itu membuatku terharu. Jawaban tulus yang kudapat dari sosok bidadari kecilku.

www.greenyazzahra.wordpress.com

Oleh: Abhisam Dm

Sekitar empat bulan lalu, aku bersama bosku pergi naik sepeda motor. Di daerah Daan Mogot kami masuk ke Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) Shell. Konon, karena bahan bakarnya berkualitas tinggi, harganya pun tinggi pula. Apalagi ini merk internasional pertama di Jakarta setelah lebih dari 40 tahun.

Motor yang kami naiki baru saja berhenti persis di depan tangki pengisian bahan bakar. Kami bahkan belum sempat turun. Petugas di situ langsung menyambut sinis, “Pak, bensinnya satu liter Rp. 6.500,- lho.”

Wow! Sambutan menyenangkan, pikirku. Aku merespon sekenanya saja, “Iya dah tahu pak.” Aku dan bosku saling melepas pandang dan melepas senyum kecil. Mengisi bensin di tempat “elit” ini memang “tidak pantas” bagi kami.

Pertama, kendaraan yang kami naiki. Motor bosku itu adalah merk yang mula-mula paling dikenal di negeri ini, dan itu sudah tahun lama, butut. Jika motor itu diparkir di pinggir jalan, lengkap dengan kunci, STNK dan BPKB, pencuri pun aku rasa belum tentu tertarik.

Kedua, penampilan kami. Kami berdua hanya bersandal jepit. Aku memakai celana jeans dan kaos oblong, sementara bosku lebih “parah” lagi. Ia memakai celana kain abu-abu dan kaos putih yang tipis. Setahuku itu kaos untuk baju dalam –singlet. Ia tidak memakai jaket.

Dengan kendaraan dan penampilan seperti itu si petugas tidak percaya. Mungkin ia takut kami salah masuk SPBU. Mungkin ia takut kami tidak bawa (punya) uang. Entahlah. Yang aku tahu tidak ada larangan bagi motor butut pun orang yang berpakaian “seadanya” untuk masuk ke SPBU Shell.

Andai si petugas tahu, bosku itu adalah engineering consultant di project salah satu BUMN yang gajinya… tak usah disebutlah, tapi kalau hanya dua digit itu pasti. Aku tahu betul keuangan bosku, bahkan sampai ke usahanya di salah satu kota di Jawa Timur yang lumayan maju. Namun ia memang begitu, sangat bersahaja menurutku. Dalam kesehariannya ia selalu tampil “biasa” saja.

Selesai semuanya. Petugas selesai mengisi, kami selesai membayar. Begitu motor kami meninggalkan SPBU, aku dan bosku melepas tawa sekeras-kerasnya. Tertawa adalah pilihan sikap kami, bukan marah, atau yang lain. Sebab melepas tawa dapat sekaligus melepas marah, tapi tidak bisa berlaku sebaliknya.

***

Cerita tadi dialami oleh seorang teman. Temanku itu, perempuan, bekerja sebagai staf ahli di project yang sama dengan bosnya. Sudah satu bulan lewat ia ceritakan padaku. Baru belakangan saja aku merasa ingin menuliskannya. Untuk apa, aku tak tahu. Tulis, tulis saja. Itu yang kutahu.

Temanku itu, sebut saja namanya Desta, juga seperti bosnya. Bersahaja. Aku tahu latar belakang ekonomi, sosial dan pendidikannya. Pendeknya begini, ia menyelesaikan S2 di fakultas hukum salah satu dari tiga universitas ternama di negeri ini dengan biaya sendiri. Ia sekarang kos di daerah Tanjung Duren, 1,5 juta per bulan, dan tidak pernah sekalipun nunggak. Namun ia memang tidak suka dibuka “aib”nya. Ia suka merendah. Itu sebabnya mengapa ia berkata, “Andai si petugas tahu, bosku itu adalah…” bukan, “Andai si petugas tahu, kami adalah…”

Pada suatu malam, seingatku masih kemarau jadi dingin sekali, aku, Desta dan beberapa teman lainnya, kumpul di satu tempat di daerah Jalan Panjang. Kami mengambil tempat di luar, smoking area. “Kopi tanpa rokok seperti sayur tanpa garam,” kata salah seorang.

“Ah, itu terlalu umum. Kopi tanpa rokok lebih seperti hidup tanpa seks, apalagi dalam dingin menusuk-nusuk begini,” sahut seorang yang lain.

“Bukan, kopi tanpa rokok itu seperti hidup tanpa ingat mati,” sanggah seorang yang lain lagi, “Setiap seruputan pada kopi adalah hidup, dan setiap hisapan pada rokok adalah ingatan pada mati.”

“Logikanya?”

“Kopi adalah hidup itu sendiri, lalu setiap kali kau hisap rokokmu, semakin pendek, pendek, pendek, dan habis. Itulah umur kehidupan.”

Kira-kira saat malam menjelang ajal, hampir jam dua belas. Desta teringat cerita di SPBU Shell Daan Mogot lalu membaginya dengan kami. Tanggapan mulai muncul, satu per satu, sahut-sahutan, sanggah-sanggahan, dan mengalir terus.

Terus hingga ajal menjemput malam. Jam dua belas lewat. Dini hari…

Masyarakat kita dijuluki Asiaweek sebagai consumer heaven. Dihantam krisis berkali-kali, kegiatan konsumsi tetap tidak pernah sepi. Mobil mewah masih harus inden. Jutaan telepon selular, barang elektronik, sepeda motor terus membanjir. Fashion, kosmetik, parfum, tas, tetap diburu. Mall-mall tidak pernah sepi, begitu pula café, waralaba, dan simbol-simbol budaya konsumer lainnya.

Prinsip filsuf Prancis, Rene Descrates, cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) berubah menjadi emo ergo sum (aku belanja, maka aku ada).

Di dalam masyarakat konsumer citra berdiri di atas esensi. Lalu (pen)citra(an) diburu, pun menjadi dasar penilaian orang banyak. Booming blackberry lebih cenderung melahirkan sekte latah yang bermakmum pada tren daripada kemajuan teknologi dan informasi itu sendiri. Konsepsi “putih” menyeret anak-anak adam secara berjamaah mengutuk matahari, lalu memuja kosmetik, alat-alat kecantikan, salon, termasuk tempat-tempat perawatan wajah dan kulit, tanpa pernah sadar sejarah ras dan bangsanya sendiri. Ribuan, bahkan jutaan orang, di negeri ini berlomba meyakini agama-agama impor baru yang disebut merk, tanpa pernah mencari dasar keyakinan mereka.

Istilah Bre Redana, mindless consumer, konsumen yang tidak berotak, pasif dan mudah dibodohi mungkin terdengar terlalu kasar. Tapi mungkin juga tidak. Apapun itu, mereka adalah kehendak yang dikendalikan citra. Citra sendiri adalah hasil konstruksi. Konstruksi modal, industri, atau apalah.

Citra itu kulit belaka, kata seorang pakar…

Pada label “kota” atau “modern” fenomena tersebut makin nyata. Dalam banyak kajian terbukti, semakin “kota” semakin konsumer pula masyarakatnya. Semakin “modern” semakin polutif pula nilai-nilai luhur pada tradisinya. Sebab kota dan modernitas terjebak pada pemaknaan sebatas kulit. Sesuatu yang lebih bersifat fisik. Bukankah sering kita menilai banyaknya mall sebagai tolok ukur “maju”nya suatu daerah? Begitu juga gedung-gedung tinggi? Apartemen mewah? Keberhasilan menarik investor, begitu “government language”nya.

Sekitar jam 01.30 dini hari. Salah seorang dari kami, yang tadi bicara kopi tanpa rokok lebih seperti hidup tanpa seks, menutup pembicaraan dengan kalimat-kalimat yang, entah, seolah itu bukan dari dia. Bijak sekali. Sepertiga malam terakhir adalah waktu bagi inspirasi dan ilham, ia sungguh menyakini itu, dan mungkin itu sebabnya.

“Dalam kajian tasawuf, pantang membenci atau mencela ketika seseorang berlaku buruk kepada kita. Bersyukurlah. Sesungguhnya orang itu adalah cermin, dan kelakuan buruknya pada kita adalah pantulan. Pantulan dari sikap atau sifat buruk kita.”

Kami semua mengeryitkan dahi. Sebagian tak mengerti. Sebagian ragu. Sebagian minta penjelasan lebih.

“Kita sedang diingatkan sebenarnya. Bisa juga khifarat. Jika tidak kedua-duanya, anggap saja ujian menuju kenaikan maqam.”

Kami semua masih mengeryitkan dahi. Sebagian masih tak mengerti. Sebagian masih ragu. Sebagian masih minta penjelasan lebih. “Jadi intinya apa pak kiai?” Tanya yang tak mengerti.

“Tentang si petugas SPBU, anggap saja ia cermin; kita juga sering menilai orang, atau segala sesuatu, hanya berdasar kulit belaka.”

Kami semua diam. Sebagian mungkin masih tak mengerti. Sebagian mungkin masih ragu-ragu. Sebagian mungkin sedang mencerna. Yang dipanggil kiai –bukan sebenarnya, ia terlalu mesum untuk dipanggil kiai- menarik kursi ke belakang sebagai tanda segera pulang. Sudah setengah dua lebih. Pagi nanti kami semua masuk kantor.

Pamulang, Agustus 2009

www.abhisamdm.com

TRAGEDI TANGAN SI BANANA

Oleh: Ambhita Dhyaningrum

Raia punya sebuah boneka yang sangat ia sayangi. Boneka berbentuk pisang yang kami beri nama Banana, atau biasa dipanggilnya dengan sebutan Nana. Boneka ini adalah hadiah ulang tahun pertamanya.

Raia cinta mati pada boneka ini. Bahkan, Nana tak boleh dicuci karena ia tak mau bonekanya dijemur, yang artinya mereka harus berpisah sementara. Pernah aku berhasil membujuknya untuk memasukkan Nana ke laundry. Tapi ketika meninggalkan laundry, dia menangis tersedu-sedu dan minta Nana diambil lagi.

Keberadaan Nana benar-benar tak tergantikan. Tak jarang kami membelikannya boneka baru, tapi rupanya Raia tetap tak mau berpaling. Ya, ia memang suka dengan boneka-bonekanya yang lain, tapi ketika tidur, selalu Nana yg dicarinya.

Tak kurang akal, kami membelikannya boneka pisang yang baru, dengan ukuran yang lebih kecil ketimbang Nana. Tapi, kendati Nana kecil ini pun disayanginya, tetap saja Nana besar yang dipilihnya. Setelah kami beli mesin cuci–karena sempat kehilangan pembantu dan bertekat tak cari pembantu lagi, tapi tak jadi karena tak tahan capeknya–persoalan dekil dan baunya Nana bisa diatasi. Tapi, persoalan kian menuanya Nana tak dapat ditanggulangi. Anggota tubuhnya mulai rapuh di sana-sini. Mula-mula tangannya lepas, lalu kakinya, yang kemudian dijahit pembantuku. Bentuk Nana pun jadi tak keruan. Penuh jahitan di sana-sini.

Baru-baru ini tragedi lepasnya anggota badan itu terjadi lagi. Tangan kanan Nana lepas lagi. Tapi, yang lucu, kali ini Raia merasa perlu tangannya saja, karena apa? Karena tiap malam, saat berangkat tidur dengan mendekap Nana, tangan itu ia gunakan untuk mengelus-elus pipinya sendiri.

Suatu ketika, tangan Nana hilang. Ia sedih sekali. Aku merasa bersalah, karena terakhir kali, ia menitipkannya di tasku. Kami pun dibikin kelabakan mencarinya. Bersyukur sekali karena tangan itu akhirnya ditemukan. Kini, Raia kembali tidur dengan bahagia, sambil mendekap tangan Nana.

Terbetik trenyuh di hatiku. Kecintaan Raia terhadap Nana, membuatku merenung. Jika kita mencintai seseorang, sanggupkah kita selalu setia? Dan sakit atau menuanya raga, dapatkah membuat kita tetap mencintainya?

www.ambhitadhyan.multiply.com

Oleh: Rommy Ramadhan

Miskin dan kaya ….
Beberapa hari ini, dua kata itu seperti berkelahi dalam batinku. Kedua kata itu bukan hal yang baru dalam hidupku. Karena aku pernah melakoninya. Meski, ya untuk ukuran kaya, aku masihlah jauh di bawah para pengusaha. Dan untuk ukuran miskin, aku juga melihat masih banyak orang yang di bawah.

Dua tahun belakangan ini, aku menemukan sesuatu yg unik, yang pastinya tidak banyak orang percaya. Aku sudah sering menuliskannya di notes. Tentang orang yang sangat kaya raya. Teramat sangat kaya raya, tapi merasa dirinya tidak bahagia. Kebahagiaan itu justru didapat setelah ia tinggal di rumah kontrakan kecil di gang becek di belakang pasar. Rumah mewah, mobil mewah berjejer, perusahaan di mana-mana tidak bikin dia bahagia.

Dan lucu juga, ketika aku bertemu sebuah keluarga yang merasa dirinya sangat miskin. Padahal punya pekerjaan tetap, punya mobil dan rumah sendiri yang cukup bagus. Karena merasa miskin dan terobsesi dengan kata ‘kaya’, sang ibu sampai membatasi teman-teman anaknya. Sampai akhirnya terucap kalimat, “Wah saya bangga lho sama anak saya, karena dia berteman dengan anaknya jenderal, anaknya pengusaha anu, anaknya pejabat itu….” Dan obsesi sang bunda itu pun telah mencuci otak anaknya. Sampai-sampai anaknya menjauhi teman-temannya yang rumahnya di gang, yang bapaknya bukan pejabat atau pengusaha.

Dan saat ini aku dikejutkan lagi oleh kata miskin dan kaya. Ketika ada seseorang yang merasa dirinya sangat miskin sampai membenci kemiskinan yang katanya selalu menemaninya sejak lahir. Bahkan dia pun membenci orang-orang kaya yang katanya tidak pernah mengerti dirinya dan selalu menginjak-injak dirinya. Dan anehnya, baru saja aku mendengar kisah hidup sahabat di masa SMP dulu. Saat ini, dia cukup sukses di mataku, memiliki karier yang sangat bagus, dan pendidikannya pun cukup tinggi. Padahal aku tahu saat SMP dulu seperti apa?

Ia sering sekali dipanggil ke ruang guru dan diskor karena kenakalannya yang sangat tidak wajar. Tidak ada yang menyangka kalau dia bisa sukses seperti sekarang. Tapi ada cerita dia yang lebih menarik lagi. Dia bilang, sejak kecil kemiskinan selalu setia menjadi teman hidup keluarganya. Dia pun menggambarkan kemiskinan itu, “Tiap hari aku dan keluarga hanya makan nasi dengan garam atau terasi. Itu pun masih bersyukur bisa makan. Kadang-kadang tidak makan. Ya, bapakku hanya buruh kasar di pabrik. Dan aku menjadi sangat nakal karena keminderanku. Aku mengaktualisasikan keminderan itu dengan kenakalan.”

Ya, saat itu dia masih belum mensyukuri segala nikmat yang sudah ia dapat.

Kalau kini dia bisa sukses, pastinya tidak didapat dalam sekejap dan begitu saja. Tidak juga lewat sihir. Ada proses panjang yang dilakoninya. Rasa syukur dan nerimonya sebagai modal awal yang dia punya. Bersyukur dengan segala hal yang sudah Tuhan berikan kepadanya. Selanjutnya, kesadaran diri akan segala ‘kekurangan’nya itu justru menjadi kelebihannya.

Meski bersyukur dengan keadaan dirinya, sahabatku ini tidak berdiam diri. Dia punya mimpi. Tapi mimpi itu tidak akan bisa terwujud hanya dengan tidur. Mimpi hanya bisa terwujud dengan satu cara: bangun! Mimpi itu memang indah. Tapi apakah kita puas hanya dengan bermimpi? “Dalam perjalanan mewujudkan mimpi itu, rasa syukur dan nerimo tetap menjadi nomor satu,” katanya.

Ya, rasa syukur membuat kesulitan jadi lebih mudah. Rasa syukur membuat penderitaan menjadi sesuatu yang indah. Dan aku sangat percaya, ketika rasa syukur itu sudah ada, pasti Allah akan memberikan lebih.

Kita pakai logika saja. Ketika kita tidak bisa berterima kasih dengan Sang Khalik yang menciptakan dan memberikan semua kenikmatan ini, ya kita tidak bakalan akan dikasih lebih. Sudah dikasih banyak, eh, kok malah ngelunjak, tidak mau berterima kasih. Ya, tidak bakal dikasih lagi.

Mari kita sadari, pernahkah kita berterima kasih kepada Allah dalam sholat kalau sudah dikasih kenikmatan melihat? Atau kenikmatan berjalan? Pernahkah berpikir kalau melihat, mendengar, berjalan, bahkan bertepuk tangan adalah sebuah kenikmatan yang tiada tara? Sementara anak berumur 6 tahun tanpa tangan saja bisa mengucapkan rasa syukur (baca tulisan: Meski Tanpa Tangan, Ia pun Tetap Bersyukur).

Seperti di awal tulisanku ini, ketika aku merasa kaya, ternyata masih banyak orang yang lebih kaya lagi. Dan ketika aku merasa miskin, ternyata masih banyak orang yang lebih miskin lagi. Jadi ketika kita menjadi kaya, tidak perlu melumuri hidup kita dengan lumpur kesombongan, karena di atas langit, masih ada langit. Begitupun ketika kita ada di bawah, mari kita selalu bersyukur, karena di bawah kita, ternyata masih banyak lagi orang yang jauh di bawah.

Oleh: Abhisam Dm

Ada yang harus terus dibagi meskipun hanya –meminjam istilah seorang Syaikh asal Jombang- separuh biji kurma. “Namanya biji kurma itu ya satu, ndak ada biji kurma kok cuma separuh. Itu perandaian matematis saja,” begitu ujar beliau.

Kemudian saya teringat seorang Kiai dari Rembang. Rumahnya besar tanpa pernah dikunci. Setiap malam selalu ada orang-orang yang numpang tidur di situ, barangkali gelandangan yang tidak punya rumah. Paginya, saat mereka bangun, sudah tersedia makanan dan minuman. Setelah menghabiskan makanan dan minuman, mereka pergi. Malamnya ada lagi yang bermalam, entah orang-orang yang sama atau bukan, paginya bangun, menghabiskan makanan dan minuman, lalu pergi lagi. Malamnya ada lagi, bermalam, bangun, mengabiskan makanan dan minuman, pergi lagi. Begitu seterusnya.

Ada yang harus terus dibagi meskipun hanya separuh biji kurma…

Lazimnya orang pasti senang punya rumah sendiri. Tapi jika sebab-musababnya lebih bersifat personal –kemapanan, kenyamanan, dsb- tentu tidak penting dibahas di sini.

“Dengan memiliki rumah, ada yang bisa terus dibagi. Dan itu bisa beberapa biji kurma,” begitu ujar seorang teman.

“Tetapi niat baik tidak selalu berakhir baik.”

“Tentu, tapi harus diingat juga, separuh biji kurma niat baik sudah cukup untuk melemparkanmu ke Surga.”

www.abhisamdm.com

BERGEGASLAH

Oleh: Rommy Ramadhan

Bangunlah, Nak
Hari sudah siang
Ibu tak sempat membelikanmu mimpi
Karena bapak sudah menyiapkan harapan

Bangunlah
Lihat mereka sudah berpakaian
Ada yang berwarna terang
Ada yang berseragam
Sementara tubuhmu masih telanjang

Maaf
Ibu tak bisa membelikanmu baju
Dan bapak hanya mampu membelikan sepatu
Agar kakimu tak terluka saat melangkah

Bangunlah, Nak
Mereka sudah meninggalkanmu
Susul mereka
Dengan sepatu dari bapak
Dan doa dari ibu

Bangunlah, Nak
Ibu menjaga dengan doa
Bapak menanti dengan hati
Dan aku menunggu di depan
Dengan nyala lilin
Agar kau bisa menjaga langkahmu

Oleh: Kanz Mumtaz Shakey

Hidup memang seperti lembaran-lembaran kertas yang dipenuhi paragraf-paragraf, membentuk kisah dari ke koma ke koma lainnya, dari titik ke titik lainnya, sampai terangkai menjadi seperti kereta yang berjalan dari kota ke kota, melalui keadaan satu ke keadaan lainnya. Dan kami tidak akan pernah bisa memastikan apakah kami akan mendapatkan yang kami harapkan atau malah sebaliknya. Iya, seperti itu kehidupan beserta perabot-perabotnya. Seperti itu kereta berserta lokomotif, gerbong dan relnya, dengan masinis dan para penumpangnya. Dan apa pun jenis keberangkatannya, tetap saja bernama kehidupan yang sedang bercerita –tentang perjalanan dan keasikannya.

Iya, terkadang hidup memang tidak bisa ditunda –seperti halnya sewaktu kami meminta masinis untuk menunda keberangkatan kereta dua jam saja hanya untuk kepentingan diri kami sendiri sementara di sekitar kami, ada beratus-beratus kepentingan dari para penumpang kereta lainnya yang tak bersedia jika keberangkatan ditunda meskipun hari akan diselimuti gerhana. Dan itu berarti setiap keberangkatan tergantung dari diri kami sendiri dalam menyiapkan segalanya –termasuk hal-hal yang harus dibawa. Sebab, biar bagaimana pun kereta tetap akan berangkat sesuai jadwalnya, tak peduli siapa pun yang menjadi penumpangnya. Sebab dari jenis golongan mana pun seandainya karcis sudah dibelinya, meski entah apa pun jenis motif keberangkatannya, paling tidak para penumpang itu sudah memutuskan untuk melancongkan diri dengan kereta.

Begitu pula dengan kehidupan yang sesungguhnya sudah ada yang menjadwalnya. Dan untuk melibatkan diri dalam jadwal-jadwal yang sudah tertera, tugas kami adalah berusaha dan berdoa. Sebab, semua jadwal yang sudah tertera, sesungguhnya akan sampai kepada tempat yang baik dan mulia. Hanya karena ulah kami sendiri saja yang terkadang membuat kami tidak bisa sampai ke sebuah tempat, seperti yang diinginkan oleh Yang Memiliki kita dan baik menurut-Nya.

Iya, seringkali kami memang begitu enggan digandeng mesra oleh cinta-Nya, padahal setiap detik Ia selalu menjulurkan tangan-Nya. Tapi kenapa, selalu dan selalu, dengan segenap keangkuhan kami, dengan segenap perilaku-perilaku kami, selalu mencerminkan kalau kami seolah-olah tidak membutuhkan-Nya, tidak memerlukan uluran tangan-Nya. Padahal sedetik saja kami tidak ditolong oleh-Nya, kami pasti tak berdaya dan binasa.

www.kanzmumtazshakey.wordpress.com

Oleh: Nina Amir

Tak ada musim gugur dimana sakura berjatuhan. Tak ada musim semi dimana pohon oak mulai berwarna gelap. Jakarta hanya mengenal musim panas, penuh asap knalpot dan lengkingan klakson dari mobil yang merayap panjang di tiap sudut jalan. Sudah setahun ini semuanya berlalu, keajaiban yang selalu kuharapkan datang nyatanya hanya impian, seperti halnya musim gugur dan musim semi. Tak ada yang berubah selain kerut yang mulai tampak di bawah mataku.

Hari ini, tepat setahun kau pergi dari hidupku. Mungkin benar apa katamu dulu, tak seharusnya aku menunggumu kembali karena jalan yang kita tempuh benar-benar berbeda. Tapi, inilah cinta, seperti kataku dulu. Aku tak akan berhenti berharap meski mungkin itu adalah sebuah kebodohan. Bukankah kau juga bilang bahwa Tuhan selalu memberi keajaiban saat kita benar-benar sudah tak berkuasa atas takdir kita sendiri?

Sore ini, aku sengaja susuri jalanan dimana dulu kita pernah bercanda. Kau selalu suka Kemang, kau selalu suka lumba-lumba, dan kau selalu suka mataku yang sedikit sendu seperti kurang tidur. Langkahku terus susuri tiap kenangan itu. Kemang, ya, kau selalu suka daerah ini karena disinilah awal kita berjumpa. Kau yang duduk tepat di kursi pojok ruangan tempat makan fastfood, memakai kaos putih bergambar vespa dan sibuk dengan notebook kecil berwarna biru. Aku selalu bersyukur pada putusnya jaringan internet yang membuatmu meminta tolong kepadaku. Itulah awal pertemuan yang tak kan pernah mampu aku lupakan.

Sebulan setelah itu, mungkin kau pun masih mengingatnya, pertunjukan lumba-lumba di Ancol. Itu pertama kalinya aku melihat lumba-lumba secara langsung. Kau tak pernah lelah menjelaskan padaku kenapa kau sangat suka lumba-lumba. Awalnya kupikir kau suka lumba-lumba karena sifatnya yang ramah dan suka menolong, tapi tidak, kau menyukai lumba-lumba karena ia bukan ikan selain suaranya yang menurutmu adalah suara malaikat. Aneh memang, tapi itulah keanehan yang meyakinkanku bahwa kau sangat berbeda. Dan disanalah pertama kali kuberani ungkapkan bahwa aku mencintaimu. Setelah itu, cincin berukir lumba-lumba selalu lekat dijemari kita. Cincin itu bahkan masih kupakai, saat ini.

Masih ingatkah kau, tentang mataku yang tak mampu berpijar sempurna kala menatapmu. Kau bilang mataku sendu, karena itu pula kau selalu nyaman menatapku. Kau bilang mata ini selalu meneduhkan jiwamu, ah, aku tahu kau terlalu berlebihan tentang itu tapi kini aku sadar, kau tak pernah berlebihan, mata ini memang hanya mampu tercipta sendu saat menatapmu.

Ah, matahari sudah bersiap melangkah pulang. Senja ini tetap tak ada sakura yang gugur, tak ada pohon oak yang berwarna gelap. Sudah setahun dan tak ada kabar darimu. Mungkin sekarang saatnya aku memahami, bahwa kau memang benar-benar telah pergi, tak ada lagi janji tentang pertemuan, tak ada lagi janji tentang kesetiaan. Kini, waktunya bagiku untuk menjemput takdir yang lain. Semoga memang benar-benar ada takdir yang lain, untukku. Dan aku melangkah pelan runuti matahari yang perlahan sembunyi di belahan barat Jakarta sambil memutar cincin yang ada di jari tengah tangan kananku, tersenyum mengucap namamu.

Oleh: Rommy Ramadhan

Syukur adalah kunci kebahagiaan hidup. Kata-kata itu mungkin sering kita dengar saat khotbah Jumat atau dalam ceramah-ceramah lainnya. Tapi berapa hari lalu, kata-kata itu terlontar dari mulut seorang anak kecil yang baru berusia 6 tahun.

Mungkin banyak orang mengira anak kecil itu sekadar meniru ucapan orang-orang tua. Tapi tidak bagiku. Setetes air mata meluncur, karena aku tahu persis, anak itu sangat mengerti arti hidup yang sebenarnya, di usianya yang masih sangat belia.

Baru 6 tahun menginjakkan kaki di bumi Allah, dia sudah kehilangan segalanya. Orangtuanya tewas menjadi korban ganasnya perang di Palestina. Tak ada lagi saudara, tak ada harta sedikitpun. Bahkan kedua tangannya pun harus diamputasi akibat terkena ledakan dalam perang yang membumihanguskan segala miliknya.

Dalam keadaan seperti itu, anak kecil ini masih berucap syukur. Subhanallah. Aku jadi berkaca diri. Betapa tidak tahu dirinya aku. Dalam keadaan yang lebih beruntung dari anak itu, aku masih saja sering mengeluh. Meski aku hanya berkeluh kesah pada Allah. Sementara anak itu, terus berucap syukur atas kondisinya itu.

Aku pun sering sekali menerima keluh kesah dari orang-orang. Ada satu yang terus aku inget dan terasa sangat kontras dengan kondisi anak itu. Seseorang di sebuah kota budaya selalu mengeluhkan keadaan dirinya. Ia merasa sangat miskin. Padahal keluarga memiliki mobil. Ia bisa kuliah di sebuah universitas ternama. Ia masih memiliki orangtua dan banyak saudara. Tapi ia selalu mengeluh kalau hidupnya tidak bahagia. Ia selalu pilih-pilih teman. Ia hanya mau berteman dengan yang tajir. Dengan anak-anak orang terpandang. Didekatinya mereka, bahkan dianggapnya kakak atau adik. Tapi dengan anak penjual lotek, ia tak mau berteman dekat. Meski orang itu sangat tulus dan sering membantunya mengerjakan tugas kuliah.

Ya Allah, sebuah pemandangan yang kontras. Untuk anak kecil yang selalu bersyukur: terima kasih, Nak. Engkau memberikan pelajaran berharga untukku. Betapa bahagianya kalau suatu hari kelak engkau bisa memanggilku bapak. Engkau memang tidak lagi memiliki ibu dan bapak kandung, tidak lagi punya tangan, tapi engkau memiliki sesuatu yang belum pernah kami punya: rasa syukur yang luar biasa. Rasa itu menggambarkan betapa dekatnya engkau dengan Sang Khalik, Allah SWT. Terima kasih, Nak…

Oleh: Rommy Ramadhan

Naiklah kereta itu
Melajulah bersama mimpi
Meninggalkan kepenatanmu

Tetaplah terjaga
Kau harus segera turun di stasiun depan
Kereta cuma sampai di situ
Bangun dan lanjutkan perjalananmu!
Atau akan tetap terlelap
Dalam keretamu?
Tapi kau tak akan pernah sampai

Jalanmu masih jauh
Mendaki dan penuh batu

Teruslah berjalan
Peluh dan darah di kakimu
Adalah hasil, bukan derita

Biar aku yang membersihkan lukamu
Teruslah berjalan
Menuju garismu

AKU BUKAN PENEPAT JANJI

Oleh: Kanz Mumtaz Shakey

Inilah hari yang aku tunggu-tunggu. Sudah lama aku merindukan kehadiran adikku yang selalu bisa meneduhkanku itu. Iya, inilah hari aku akan merasa lengkap, ketika liburan datang dan adikku akan pulang untuk berlibur dari studinya di sebuah pondok pesantren di Salatiga.

Sekarang dia kelas 2 Mutawasitoh, setara dengan kelas 2 SMP atau MTs. Ketika liburan tiba dan adikku ada di rumah, aku pasti akan malu kalau selalu malah aku yang belum bangun ketika azan subuh berkumandang. Iya, selama liburan, lebih banyak adikku yang membangunkanku. Kemudian setelah sholat subuh, aku pasti akan ikut membuka dan membaca al-Quran. Sungguh, aku malu kalau aku seperti biasanya, tidur setelah sholat subuh dan bangun siang.

Sering, kalau lagi malas dan iman lagi pas-pasan, aku sering sekali mencari alasan ini-itu kalau diajak sholat lima waktu berjamaah di masjid. Atau kalau hari Ahad pagi, kalau tidak ada adikku, kemungkinan besar aku akan tidur. Namun jangan harap aku bisa tidur kalau dia sedang ada di rumah. Aku pasti akan diajak ngaji di Kawedanan. Dan aku sangat sungkan untuk menolaknya. Entah kenapa, aku selalu merasa adem dengan kehadirannya. Sikapnya teduh sekali. Cara menegur dan mengajaknya juga sangat santun.

Jauh sebelum liburan tiba, ketika aku bertandang ke pondok untuk menjenguknya, dia mengatakan kalau ingin sekali ke Jogja. Maka aku pun merencanakan semua itu. Rencananya, setelah dia pulang dan beberapa hari di rumah, baru aku akan mengajaknya ke Jogja selama beberapa hari. Dan ketika aku sampaikan rencana itu, dia senang sekali. Aku juga sangat senang melihat reaksinya itu.

Dia membayangkan mau apa saja di Jogja nanti. Dan itu dia ceritakan kepadaku, mulai dari tempat mana saja yang pengen dikunjungi, sampai mau silaturahim ke rumah teman satu pondoknya yang berasal dari Jogja. Maka aku pun menentukan kalau di hari Jumat, setelah dua minggu dia di rumah, baru aku akan ajak ke Jogja. Semakin mendekati hari H, dia tampak senang sekali. Sepertinya hari keberangkatan itu benar-benar ditunggunya. Sampai akhirnya tibalah hari di mana aku sangat tersindir oleh sikapnya yang sebentar lagi akan aku ceritakan ini.

Adikku yang satu lagi, kebetulan ada keperluan mendadak ke Jogja bersama temannya. Kebetulan mereka akan menggunakan mobil untuk keperluan dagangnya. Ketika rencana itu diceritakan kepadaku, aku senang sekali. Aku berpikir, kalau kami bisa bareng berangkat ke Jogja, meskipun berangkat hari Rabu, tidak seperti rencanaku sebelumnya, hari Jumat. Maka aku pun langsung membicarakan semua itu.

“Gimana, Dik?” Tanyaku.

Dia diam lama, seperti sedang berpikir. Dan dengan diamnya itu, aku jadi bertanya-tanya: kok tidak kelihatan senang, padahal dia kan sudah menunggu-nunggu berangkat ke Jogja?

“Gimana, Dik?” Tagihku lagi.

“Tidak, Mas.”

“Kenapa?” Tanyaku, heran.

“Mas Salman berangkatnya besok siang, kan?”

“Iya. Terus kenapa, Dik?”

“Besok aku ada janji sama Dillah.”

“Janji apa, Dik?”

“Janji mau nganterin Dillah bermain ke rumah Eko.”

Aku langsung diam, heran, takjub, sembari mengukur keputusannya itu dengan diriku sendiri. Sungguh, kalau aku jadi dia, aku pasti langsung akan mengatakan iya dan membatalkan janji dengan Dillah. Apalagi janji itu menurutku sangat sepele: janji mau nganterin Dillah bermain ke rumah Eko! Iya, cuma itu! Sungguh, aku malu, sangat malu. Sikapnya seperti tamparan bagiku, seperti jendela yang membuatku tahu, kalau aku memang bukan penepat janji. Bahkan untuk urusan yang kuanggap besar pun aku masih suka menganggap enteng dan mudah untuk membatalkan, apalagi untuk janji-janji yang kuanggap kecil seperti itu.

www.kanzmumtazshakey.wordpress.com

Oleh: Kanz Mumtaz Shakey

Tak bisa kusebut namanya, seperti ia yang selalu menyembunyikan doa-doa dan airmatanya. Tak bisa kutulis namanya, seperti ia yang selalu menyembunyikan sejarah hidupnya. Iya, jarang penduduk desa yang mengerti bagaimana sejarah hidupnya. Bahkan mungkin tak ada.

Aku belum lama mengenalnya. Pertamakali melihatnya ketika aku turun dari bus antar kota, ia sedang menyapu pasar tradisional yang berada tidak jauh dari rumahku. Iya, aku tahu persis wajah orang-orang yang tinggal di kampung halamanku, meski aku jarang sekali pulang ke desa. Karena itu, ia yang sedang berkeringat adalah pemilik wajah yang baru bagiku. Sebab, sebelumnya, pasar tradisional itu memiliki penyapu pasar yang aku kenal, tetanggaku sendiri. Tapi, siapa ia, yang menggantikan profesi Kang Yanto itu?

Ketika itu aku hanya berlalu melewati pasar itu sambil kulayangkan pandangan ke arahnya. Saat ia membalas tatapanku kuanggukkan kepala kepadanya. Ia pun membalasnya dengan anggukan dan senyuman. Sepertinya ramah, tapi siapa ia?

Ketika aku tanyakan kepada keluargaku tak ada informasi yang aku dapatkan kecuali ia yang tinggal di pasar dan bisu. Aku tak menyangka, kalau sepintas lalu orang yang tampak ‘normal’ itu adalah orang yang biasa dianggap memiliki kekurangan oleh kebanyakan orang, bisu. Ketika aku tanyakan, asal muasal dan bagaimana bisa datang ke desa pun tak ada yang memberikan keterangan, termasuk tetangga-tetanggaku.

Aku semakin penasaran. Sungguh, entah kenapa aku seperti ingin sekali dekat dengannya, ingin mengenal lebih jauh sejauh yang bisa aku kenal dengan sosok yang sering tak dianggap keberadaannya itu. Sebab, beberapa hari di rumah, sering kuperhatikan ia sering dijadikan bahan ejekan warga sewaktu mereka bercanda di pos ronda.

Pernah suatu kali ketika aku nongkrong di pos ronda, ia diminta memijati lima warga yang sedang meronda, bergiliran satu persatu. Aku mengira setelah selesai memijat ia akan diberi imbalan, uang misalnya. Apalagi kuperhatikan, setiap orang dipijatnya lebih dari setengah jam. Iya, tak hanya di malam itu saja. Aku kasihan melihatnya. Ternyata pos ronda pun sudah berubah menjadi panti pijat gratis untuk warga. Entah kenapa, aku merasa tidak terima dengan perlakukan warga terhadapnya itu. Terlebih, aku ketahui bahwa setiap minggu untuk pekerjaannya sebagai penyapu pasar hanya diberi uang sepuluh ribu. Berbeda dengan gaji yang diberikan kepada Kang Yanto dulu, yang jauh lebih besar dari gaji yang didapatkannya itu. Seolah, pengelola pasar merasa diuntungkan dengan hadirnya laki-laki bisu itu. Bisa diminta menyapu pasar dengan imbalan yang sangat murah. Padahal seharusnya ia tak menerima hanya segitu. Ada reng-rengan atau estimasi dana bulanan yang sudah pakem untuk gaji penyapu pasar, tapi tidak segitu. Lalu ke mana sisa uang yang seharusnya diberikan sepenuhnya kepadanya itu?

Dengan uang sepuluh ribu satu minggu, aku menjadi memetakan. Berarti untuk makan setiap harinya ia hanya bisa menggunakan uang kurang lebih seribu. Lalu dapat apa dengan uang seribu itu? Bisakah untuk mengganjal perutnya dua puluh empat jam? Memang, aku juga menyaksikan, ketika pagi pasar mulai buka, ia pun diminta beberapa penjual di pasar untuk angkat ini-itu. Itu pun ia paling hanya diberi uang sekitar seribu untuk setiap penjual yang meminta bantuan tenaganya. Iya, cuma itu uang tambahan selain gaji yang didapatkannya setiap minggu dari pengelola pasar.

Mungkin, bisa jadi ia merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan, dengan pemberian uang yang sangat sedikit itu. Namun, entah kenapa, aku selalu merasa, bahwa betapa tidak adilnya sikap masyarakat kepadanya. Apakah ia yang karena bisu, yang tiba-tiba saja datang ke desa, tak dimengerti latar belakang dan asalnya, tak punya keahlian, hanya pantas mendapatkan perlakukan seperti itu? Bukankah harkatnya juga sama, seperti semua warga desa, sebagai manusia?

Pada suatu malam, aku sengaja datang ke pasar, setelah biasa ia diminta warga memijat di pos ronda. Ia sedang membuka bungkusan kresek hitam dan apa yang dikeluarkannya dari kresek hitam itu? Ia sedang mengeluarkan beberapa bungkusan nasi kemudian dijadikan satu. Nasi itu adalah nasi turahan, nasi yang sudah dibuang, yang ia pungut dan kumpulkan, kemudian disantapnya. Aku tak kuat melihatnya. Aku urungkan niat untuk menghampirinya. Bagaimana mungkin, warga yang bergantian minta dipijat di pos ronda itu, para penjual yang sering meminta bantuan tenaganya, pengelola pasar, dan kebanyakan warga tak ada yang mendengar jeritannya ketika ia menahan lapar?

Aku langsung pulang ke rumah malam itu. Aku menjadi semakin tahu, bagaimana ia harus melalui hari-harinya di desa ini. Dan aku juga menyesal, kenapa baru malam itu aku mengerti semua itu dan kenapa baru malam itu juga aku tergerak hatinya untuk membantu? Bukankah sebelumnya aku setidaknya sudah merasakan ada sesuatu, namun kenapa yang aku lakukan hanya memerhatikan dan mengamatinya, tidak mewujudkannya ke dalam sikap dan tindakan nyata? Kenapa aku hanya bisa menyalahkan warga yang berbuat tidak adil kepadanya, sementara aku yang sebenarnya sudah memiliki pintu untuk mendengar jeritan hatinya, baru malam itu melakukan tindakan nyata. Iya, ternyata aku juga tidak adil. Yang seharusnya aku salahkan pertamakalinya sebenarnya bukan mereka, bukan warga, tetapi diriku sendiri. Aku tak lebih baik dari mereka, warga yang kuanggap tidak sensitif dengan jeritan hatinya. Kenapa aku yang suka mengamati dan memperhatikan, menuntut ini-itu dengan alasan ketidakadilan, hanya bisa menjadi pengamat yang tak bisa memberikan arti secara konkrit?

Malam itu, setelah mengambil nasi di rumah, aku kembali lagi ke pasar. Ia baru saja selesai makan nasi turahan itu. Seperti biasa, ia tersenyum menyambutku dan mempersilakan duduk dengan isyarat tangan. Aku sendiri agak bingung bagaimana bisa berkomunikasi dengannya. Aku belum mengenal betul bagaimana bahasa isyarat yang ia pergunakan untuk berkomunikasi.

Ia pun menerima bungkusan nasi pemberianku. Aku hanya menangkap, ia mengucapkan terimakasih dan ingin menyimpan nasi itu untuk makan esok pagi. Dan ketika aku minta untuk makan, mungkin bahasa isyaratnya bisa diartikan kalau ia sudah makan dan sudah kenyang. Aku kemudian pamit pulang. Seperti biasa, ia memberi anggukan dan senyuman. Sungguh, sama sekali tak kulihat ada warna keluhan di wajahnya. Ada ketulusan yang luarbiasa. Sungguh, aku tak lebih mulia darinya. Aku tak lebih baik darinya. Aku tak lebih sholeh darinya. Dan ini yang membuatku tahu bahwa ia yang selalu tak dianggap, dijadikan bulan-bulanan, selalu berpakaian lusuh, tak bisa bicara, tidak terlihat kereligiusannya, namun aku yakin, hatinya lebih hidup dalam mencintai-Nya, hatinya lebih religius daripada yang biasa tampak oleh mata, cintanya kepada-Nya jauh lebih besar daripadaku yang terlalu sering menganggap diri ini mencintai-Nya:

Malam itu hujan deras, bercampur dengan angin. Aku terbangun, pukul tiga malam. Aku teringat dengannya. Bagaimana keadaannya? Apalagi pasar itu pasar tradisional, yang kalau hujan pasti akan becek sana-sini. Aku pun langsung mengambil payung dan keluar rumah menuju pasar. Sesampainya di pasar, aku tak melihat ia di tempat biasanya. Tempat itu basah. Mungkin ia mencari tempat yang kering. Aku mencoba masuk ke pasar lebih ke dalam lagi. Ternyata benar. Dalam remang-remang gelap aku melihatnya sedang duduk. Aku pun mendekatinya. Kemudian, langkahku terhenti begitu aku semakin jelas bisa menyaksikan ia sedang apa. Aku kemudian menyelinap dan memperhatikannya. Dan ‘pemandangan’ inilah yang akhirnya sering aku saksikan ketika sepertiga malam di pasar, baik ketika hujan atau tidak:

Malam itu, pertama kalinya aku menyaksikan, ia sedang duduk bersila, seperti baru saja selesai sembahyang. Kedua tangannya menengadah. Bersama suara hujan aku mendengar suara bisunya seperti sedang berdoa. Aku tak mengerti apa yang sedang keluar dari mulutnya itu. Terdengar seperti komat-kamit, seperti selayaknya seorang bisu yang sedang berbicara. Aku perhatikan wajahnya. Mimik wajahnya seperti sedang menangis. Seperti sedang menyatu bersama hujan yang juga sedang bertasbih kepada-Nya. Mungkin saja, ia sedang mengucapkan rasa syukur dan mengucapkan kata-kata rindu kepada-Nya. Atau mungkin ia sedang bersholawat untuk Kanjeng Nabi dan seolah sedang bertemu dengan Kanjeng Nabi yang sedang rawuh di hadapannya. Sambil terus diam dan memperhatikan, serta meneteskan airmata, dalam hati aku menjerit:

Ya Tuhan, ia yang tak bisa bicara saja, selalu berbicara dengan-Mu melalui doa-doa. Mungkin ia sedang memuji-Mu. Mungkin ia sedang menyampaikan bahasa cintanya kepada-Mu. Mungkin ia sedang bersholawat untuk Kanjeng Nabi. Mungkin ia sedang menangis bahagia karena kedekatakannya kepada-Mu dan Kanjeng Nabi, meski kenyataan hidupnya mengatakan bahwa ia sering tak dianggap ada, kehadirannya hanya dijadikan pesuruh dan pelengkap saja, selalu dipinggirkan dan sering tidak dimanusiakan. Bagaimana denganku, yang bisa merapalkan doa dengan jelas, bisa berteduh ketika hujan dan panas, dan bisa makan tidak dengan nasi turahan ini?

www.kanzmumtazshakey.wordpress.com

Oleh: Kanz Mumtaz Shakey

Nenek sudah berumur 80 tahun. Boleh dibilang paling tua di kampung. Beliau jarang sekali sakit, giginya masih utuh sampai sekarang, dan masih bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat, meski jalannya lambat. Dan anugrah itu beliau manfaatkan untuk jarang sekali absen berangkat ke masjid untuk sholat lima waktu.

Antara rumah kami dan masjid kurang lebih berjarak dua ratus lima puluh meter. Aku yang masih muda saja kalau ke masjid lebih suka menggunakan sepeda motor daripada berjalan. Bahkan kalau sepeda motornya sedang tidak ada, aku lebih memilih sholat di rumah daripada melangkahkan kaki ke masjid. Tapi tidak dengan Nenek. Beliau seperti tak mau dimanjakan oleh sepeda motor. Baginya, sepeda motor dan semangatnya untuk sholat berjamaah di masjid tidak ada korelasinya. Ada dan tidaknya sepeda motor tetap saja berangkat ke masjid.

Dua minggu yang lalu Nenek sakit. Dan itu membuatnya harus banyak istirahat di rumah. Dalam kondisi seperti itu, beliau tetap saja ingin berangkat ke masjid. Berulangkali kami meyakinkan kalau karena kondisinya itu Nenek lebih baik sholat di rumah saja. Kami pun akhirnya tidak bisa melarangnya lagi ketika Nenek sudah merasa sehat. Padahal menurut kami, Nenek belum begitu sehat. Mau bagaimana lagi, setiapkali kami menganjurkan Nenek untuk sholat di rumah, beliau malah terlihat tidak tenang. Kata orang, setiapkali ada orang yang sakit, kalau seseorang tersebut meminta sesuatu, alangkah baiknya kalau memenuhinya selama permintaannya itu baik. Siapa tahu sesuatu itu bisa menjadi obat. Karena itu, siapa tahu, Nenek yang sebenarnya masih sakit, dengan berangkat ke masjid akan sembuh.

Tiga hari yang lalu, dengan menggunakan sepeda motor kami berangkat ke masjid untuk sholat subuh. Baru saja kami keluar dari rumah, di jalan menuju masjid itu Nenek melihat Andi sedang berjalan ke masjid. Andi ini salah satu tetangga, teman, yang umurnya tidak jauh beda denganku. Ia baru saja diopname di rumah sakit. Baru lima hari yang lalu pulang dari rumah sakit. Andi ini juga salah satu pemuda yang menjadi jamaah tetap di masjid.

Pagi itu, begitu melihat Andi sedang berjalan ke masjid, Nenek langsung menepuk pundaku dan menyuruhku menghentikan sepeda motor.

“Kenapa berhenti, Nek?” Tanyaku.

“Nenek mau jalan saja.”

Aku belum ngeh maksud Nenek itu.

“Katanya Nenek mau mbonceng aku?”

“Sekarang kamu mboncengin Andi saja, Nenek mau jalan.”

“Kenapa harus mboncengin Andi, Nek?”

“Dia baru sembuh dari sakit.” Jawabnya.

www.kanzmumtazshakey.wordpress.com

Aku meminta kepada Tuhan untuk menyingkirkan penderitaanku.
Tuhan menjawab: Tidak, itu bukan untuk Kusingkirkan, tetapi agar kau mengalahkannya.

Aku meminta kepada Tuhan untuk menyempurnakan kecacatanku.
Tuhan menjawab: Tidak, Jiwa adalah sempurna, badan hanyalah sementara.

Aku meminta kepada Tuhan untuk menghadiahkanku kesabaran.
Tuhan menjawab: Tidak, Kesabaran adalah hasil dari kesulitan; itu tidak dihadiahkan, itu harus dipelajari.

Aku meminta kepada Tuhan untuk memberiku kebahagiaan.
Tuhan menjawab: Tidak, Aku memberimu keberkahan. Kebahagiaan adalah tergantung padamu.

Aku meminta kepada Tuhan untuk menjauhkan penderitaan.
Tuhan menjawab: Tidak, Penderitaan mejauhkanmu dari perhatian duniawi dan membawamu mendekat padaKu.

Aku meminta kepada Tuhan untuk menumbuhkan rohku.
Tuhan menjawab: Tidak, kau harus menumbuhkannya sendiri, tetapi Aku akan memangkas untuk membuatmu berbuah.

Aku meminta kepada Tuhan segala hal sehingga aku dapat menikmati hidup.
Tuhan menjawab: Tidak, Aku akan memberimu hidup, sehingga kau dapat menikmati segala hal.

Aku meminta kepada Tuhan membantuku mengasihi orang lain, seperti Ia mengasihiku.
Tuhan menjawab: Hari ini adalah milikmu. Jangan sia-siakan.

Bagi dunia engkau mungkin hanyalah seseorang.
Tetapi bagi seseorang engkau mungkin dunianya.