Anonim
Aku belum lama bekerja di perusahan ini. Meski terbilang kecil, namun penghasilan dari perusahan ini tidak terbilang sedikit. Perusahan ini berlabel perdagangan dan jasa. Banyak yang dikerjakan, mulai dari pengadaan alat gerak, buku-buku silabus, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan belajar-mengajar siswa. Kantor yang dipergunakan pun menjadi satu dengan rumah bos kami yang kebetulan masih melajang di usianya yang ke tiga puluh delapan. Suatu ketika, aku mendengar langsung alasan kenapa bos tidak membuat kantor yang terpisah dengan rumah, padahal dari penghasilan per-bulan, bos sudah sangat bisa kalau hanya untuk membuat kantor sendiri. Bos mengatakan, supaya rumah tidak sepi. Hal itu ia katakan ketika untuk ke enam kalinya aku berkencan dengannya.
Aku memang bukan perempuan baik. Biasa orang bilang aku ini perempuan panggilan. Ya boleh-lah dikatakan aku ini sudah terlebeli oleh banyak laki-laki hidung belang sebagai ayam kampus yang tidak murah untuk menyewaku dalam semalam. Mungkin karena label itu juga yang membuat laki-laki yang akhirnya menjadi bosku itu hendak mengencaniku. Bahkan, ketika itu, aku dibayar duakali lipat. Dan setelah aku dipakainya berulangkali, baru kemudian aku ditawari kerja sebagai sekertaris. Tentu, label sekertaris itu hanya lebel saja. Aku diminta untuk tinggal di rumah yang bergabung menjadi kantor itu dan dijanjikan akan digaji setiap bulan dengan jumlah uang yang terbilang banyak. Aku tergiur dengan tawaran itu. Apalagi, boleh dibilang aset kekayaan bos boleh dibilang tidak sedikit. Memang, ketika itu aku hanya memikirkan keuntungan secara finansial. Aku berfikir, mungkin aku bisa mendapatkan uang lebih banyak lagi dari yang akan diberi setiap bulan, asalkan aku pandai ‘mendampinginya’.
Dugaanku benar. Setelah aku menyepakati permintaan dan beberapa perjanjian yang tak bisa aku sebutkan di sini, setelah aku kerja dan tingal satu rumah dengannya dengan label sekertaris, aku bisa mendapatkan uang ‘bonus’ di luar gaji. Apalagi bosku ini termasuk orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Ia sering mengajak karyawan-karyawannya untuk mabuk bersama, menghabiskan waktu di pub, dan semua itu bos yang menanggung biayanya. Terang saja, aku melihat, hal itu membuat karyawan-karyawannya juga senang, termasuk aku sendiri. Bahkan hampir tiap malam pun, rumah itu dijadikan tempat ngumpul untuk mabuk, berkelakar ke sana ke kemari, dan karyawan pun tidak sedikit yang menginap di rumah yang boleh dibilang besar itu.
Mereka pun akhirnya tahu, entah dari siapa, kalau aku ini adalah wanita panggilan yang dipekerjakan oleh bos. Mungkin mereka tahu dengan sendirinya, atau mungkin bos yang bercerita. Aku tidak peduli dengan semua itu. Yang terpenting aku dapat uang dan kebutuhan hidup bisa terpenuhi tanpa harus mengeluarkan biaya. Jadi aku bisa mengumpulkan uang lebih banyak lagi setiap bulannya dengan dalih untuk anakku yang aku titipkan kepada ibuku di Jawa sana. Aku tak perlu menceritakan bagaimana mulanya aku memutuskan untuk menjadi wanita panggilan di pulau ini. Yang jelas, sebenarnya bukan karena persoalan ekonomi.
Dua bulan sudah aku bekerja di perusahan ini, hingga pada suatu hari datang informasi kepadaku, kalau dalam beberapa hari ke depan, ada saudara jauhnya bos yang akan datang, menetap, sekaligus bekerja di rumah ini. Bos bilang, kalau saja keluarganya tidak berhutang budi dengan keluarganya saudara jauhnya itu, bos tidak akan mengizinkan untuk datang dan bekerja di sini. Apalagi, katanya keluarga saudara jauhnya itu adalah keluarga yang agamis. Bos dengan gamblang mengatakan, bisa jadi kehadirannya hanya akan menjadi duri dalam daging berkait dengan gaya hidup bos yang selama ini dijalaninya. Bos sendiri juga akhirnya bercerita, kalau keluarganya bos yang semuanya berada di Jawa pun tak pernah mengerti tentang gaya hidupnya di pulau ini. Bos khawatir, kalau dengan datangnya saudara jauhnya itu, akan membuat keluarga bos di Jawa tahu semuanya. Bahkan menurut salah satu karyawan, mengatakan kalau keluarga bos sendiri boleh dibilang agamis.
Tidak hanya satu dua kali, ketika ada salah satu keluarganya bos yang datang, maka bos pun pura-pura merubah gaya hidupnya, semuanya dibikin pura-pura. Aktivitas yang berlangsung pun selayaknya aktivitas kerja biasa. Bos yang tadinya tidak pernah ke masjid pun melangkahkan kaki ke masjid. Dan semua itu bos lakukan supaya tidak membuat keluarganya kecewa terhadap gaya hidup yang sudah mendarah daging dan dijalaninya selama bertahun-tahun. Setelah keluarganya pulang ke Jawa kehidupan bos kembali seperti semula.
Aku pun menjadi mengerti, kenapa rencana datangnya saudara jauhnya itu membuatnya stress. Bos mengatakan, bagaimana mungkin aku harus terus menerus berpura-pura. Dalam hati sebenarnya aku tertawa. Lucu memang. Menggelikan. Tapi aku bisa sekali merasakan. Sama ketika aku sedang pulang ke Jawa. Satu dua hari pertama aku pun stress dengan kepura-puraanku. Namun, setelah tiga hari, dan aku kembali merasa menjadi seorang ibu, melihat anakku, aku menyadari kalau pilihanku menjadi wanita panggilan ini tidak-lah baik, melanggar aturan agama, dan lain sebagainya. Namun, setelah kembali pulang ke pulau ini, kesadaran yang sempat hinggap itu pun berubah seketika. Aku bisa menikmati kembali kehidupanku sebagai wanita panggilan.
Dua hari sebelum saudara jauhnya datang, bos pun sudah menyusun skenario. Rumah dibersihkan. Botol-botol minuman pun disingkirkan. Bos pun meminta seluruh karyawan untuk menghentikan semua aktivitas mabuknya untuk sementara. Aku pun dicarikan indekos yang tidak jauh dari rumah itu. Aku tidak mempersoalkan, apalagi bos mengatakan semua itu hanyalah cara, dan aku tetap bisa mendapatkan fasilitas-fasilitas seperti biasanya.
***
Aku masih ingat, hari itu hari Minggu. Sore hari aku diantarkan bos ke indekos sebelum bos ke bandara untuk menjemput saudara jauhnya itu. Aku bisa menebak apa yang tersembunyi di dalam dadanya melihat mimik wajahnya. Dan aku hanya bisa mengatakan bahwa rencana bos pasti akan berhasil.
Keesokan harinya, ketika aku berangkat kerja, itulah pertamakalinya aku berkenalan dengannya. Bos memang seorang pemain yang pintar. Wajahnya sama sekali tidak terlihat terganggu dengan kehadiran saudara jauhnya itu, malah aku melihat bos menjadi sangat ramah dan murah senyum, termasuk ketika memperkenalkanku kepada saudara jauhnya bos itu.
“Dia ini jagonya ngaji.
“Dia ini lulusan pesantren.
“Kalau mau nanya tentang agama, kamu bisa sama Malik ini!
“Pasti dengan adanya Malik, anak-anak jadi rajin sholat!”
Dalam hati aku tertawa mendengarkan ucapan bos itu.
Iya, itu-lah pencitraan yang memang bos tanamkan tentang Malik, tidak hanya kepadaku saja, tetapi juga kepada karyawan-karyawan lainnya. Dan aku tahu sekali apa maksud terselebung di balik pencitraan yang bos tanamkan itu. Kami pun memperlakukan Malik benar-benar seperti seorang pakar agama yang sangat kami butuhkan, seperti yang diperintahkan bos. Iya, kami akan menggiring supaya setidaknya ia merasa menjadi seorang ustadz bagi kami.
Nyatanya, dalam tiga hari ini, Malik tidak pernah membicarakan soal agama, kecuali ada yang bertanya. Dan itu pun ia jawab dengan sangat rendah hati. Aku tahu kalau sebenarnya ia mengerti tentang banyak hal. Namun ia pun menjawab dengan jawaban yang sangat biasa, tanpa dicampuri dengan ajakan, tanpa ditegaskan benar dan salahnya. Dan itu membuatku menjadi menyimak apa yang tuturkan dengan sangat santun dan lemah lembut itu. Dari yang tadinya mau berpura-pura mendengarkan, malah jadi mendengarkan dan aku menjadi mulai mengerti apa-apa yang tak aku mengerti sebelumnya.
Ketika waktu sholat tiba, ketika Malik ingin sholat, ia pun meninggalkan pekerjaannya begitu saja, tanpa mengecam kami yang sedang asik bekerja sambil mendengarkan lagu yang sengaja kami putar keras. Ketika ditanya, Malik hanya menjawab, mau ke sana. Padahal kami tahu ke sana yang dimaksud Malik itu mau ke masjid. Atau terkadang masuk kamar hendak shalat.
Salah satu tugasku dengan hadirnya Malik adalah menyiapkan makan siang khusus untuknya dan menemaninya makan siang di ruang makan. Di ruang makan itu juga biasanya para karyawan makan. Dan inilah yang membuat aku heran dan menjadi mulai sungkan kepadanya. Malik tak pernah mau dibedakan dengan alasan saudaranya bos. Malik tak mau diistemewakan. Malik tak mau ditemani makan sebelum karyawan-karyawan lainnya makan katering bersama-sama. Bahkan Malik mengatakan kalau ia juga ingin makan siang dengan katering saja, bukan dengan nasi dan lauk yang sengaja disediakan dan di bedakan lauk-pauknya dengan karyawan-karyawan lainnya.
Bos pun menjadi heran. Malik tidak seperti yang dibayangkannya. Malik tidak mudah untuk ditinggikan. Bos pun akhirnya menuruti apa yang diinginkan Malik, setelah pura-pura mengatakan kalau seharusnya Malik tak harus merasa dibedakan dan diistemewakan. Kini bos menambahi skenario. Ketika azan berkumandang, semuanya harus berhenti bekerja dan sholat berjamaah bersama Malik di rumah. Namun, sewaktu dhuhur dan ashar, bos pasti tidak ada. Aku tahu, ia pasti sedang menghindar. Apalagi di balik semua itu ada rencana yang sebenarnya aku sadari sangat jahat. Tapi apa mau dikata. Aku tetap melihat dengan kaca mata uang ketika itu.
Ketika kami hendak berjamaah, kami selalu mendorong Malik untuk menjadi imam. Namun selalu, sebelum menjadi imam, Malik selalu menawari karyawan-karyawan untuk menjadi imam. Itu selalu ia lakukan. Meski, terkadang pada akhirnya terkesan basa-basi, karena semua juga tahu kalau Malik yang akan menjadi imam, namun lama-lama aku sendiri menjadi semakin mengerti kalau Malik ini orangnya sangat rendah hati dan tidak memandang dirinya lebih suci dari siapa pun. Sejak saat itu, aku mulai mengira, bisa jadi rencana jahat bos ini akan menjadi senjata makan tuan baginya. Apalagi, semua karyawan mulai merasakan sifat Malik yang kami sadari sangat baik dan luhur. Kami lama-lama menjadi sungkan dengannya. Ia seperti membaca semuanya benar-benar tanpa prasangka buruk. Dan ada satu hal yang memang membuatku menjadi tak mengerti, saat aku menyadari, kalau diam-diam aku selalu merindukan untuk diperhatikannya. Padahal aku tahu, Malik pun melakukan kami semua sama, baik dalam perhatian, kepedulian, dan lain sebagainya. Tapi, kenapa aku tidak bisa memungkiri kalau ada perasaan tidak terima ketika Malik sedang memperhatikan salah satu dari kami, sementara aku seolah dinomorduakan.
Tiga minggu sudah Malik bekerja. Bos mulai nampak terlihat ketidaknyamanan. Ia seperti merasa terjebak dengan permainannya sendiri. Dan entah kenapa, aku pun menjadi merasa sangat nyaman ketika berada di dekatnya. Aku menjadi semangat ingin berangkat kerja hanya untuk bertemu dengannya dan bertanya ini-itu tentang agama. Hingga akhirnya bos mulai memikirkan cara kembali untuk rencana tidak baiknya. Apalagi, para karyawan pun menjadi semakin sungkan dengan keluhuran budinya. Bahkan kadang, kami menjadi lebih menghormati Malik daripada bos kami sendiri.
Di minggu ke empat, bos mulai akan terang-terangan. Ia mengatakan supaya kami menghentikan aktivitas sholat berjamaahnya dengan cara yang halus. Karena nyatanya selama ini Malik memang sangat sulit ‘diserang’, ditinggikan, untuk kemudian dijatuhkan. Aku sendiri sebenarnya benar-benar heran. Sudah berulangkali aku memancing pembicaraan yang menjurus kepada hubungan intim, namun selalu tidak membuahkan hasil. Karena, memang itulah peran yang seharusnya aku mainkan. Ketika Malik benar-benar merasa menjadi seorang ustadz, aku kemudian diminta merayunya dengan segala cara supaya Malik mau menyentuhku, kemudian jatuhlah Malik. Bos akan merasa punya ‘kartu as’nya Malik. Jadi ia bisa kembali bebas melakukan apa pun tanpa khawatir Malik akan memberitahu keluarganya di Jawa, karena kalau sampai Malik memberitahu, bos akan membalasnya dengan membongkar semua yang dilakukan Malik kepadaku.
Memang, sudah berulangkali Malik diminta bos untuk mengantarkanku pulang ke indekos dengan harapan sesampainya di indekos Malik akan tergoda, lupa diri, dan mulailah tergoda dengan semua muslihat. Namun, semua tidak pernah mempan. Aku sendiri heran. Aku menjadi semakin yakin kalau Malik memang laki-laki baik, bahkan tak pernah menampakkan rasa curiga dan kebenciannya kepadaku, kalau pun ia merasa tergoda dengan sikapku yang mencoba meruntuhkannya itu. Itulah yang membuatku menjadi semakin tertarik kepadanya. Entah kenapa, aku menjadi merasa menjadi orang baik ketika bersamanya.
Ketika karyawan-karyawan tidak lagi berjamaah, Malik pun tidak pernah mengoprak-oprak kami untuk sholat berjamaah. Satu pun kata untuk mengajak tidak pernah keluar dari mulutnya. Ia hanya seperti sebelumnya, hanya meninggalkan pekerjaannya, kemudian masuk ke kamar, atau kalau tidak mengatakan mau ke sana kalau ditanya, padahal ia akan berangkat ke masjid. Sungguh, dalam hati aku ingin sekali ikut dengannya. Namun, aku tidak mungkin menyertainya. Dan dengan perubahan kami yang tiba-tiba itu pun samasekali tidak membuat Malik berubah atau berpandangan lain terhadap kami. Malik selalu menunjukkan sikapnya yang luhur dan selalu baik kepada kami. Bahkan picingan mata sekalipun aku tidak pernah mendapatkannya. Dan aku menjadi semakin tahu, meski Malik tidak pernah mengucapkan secara lisan untuk mengajakku beribadah, namun sikap-sikapnya itu sudah sangat cukup menjelaskan kepadaku.
Satu bulan setengah Malik berada di pulau ini, bekerja di sini. Bos semakin bingung dengan keluhuran budinya itu. Kemudian, tepatnya di hari Kamis, bos membuat sebuah rencana baru. Aku sengaja diminta untuk menemaninya menagih uang di sebuah kota yang lumayah jauh, enam jam perjalanan untuk sampai sana. Bos berharap kami akan menginap dalam satu kamar di sebuah losmen kecil yang biasa bos gunakan sewaktu keluar kota. Aku sendiri sebenarnya tidak begitu yakin, apakah dengan cara seperti itu Malik akan tergoda, tapi bos akan tetap mencoba dengan cara itu.
Kami akhirnya berangkat. Dan benar. Kami harus bermalam di sebuah losmen itu. Seperti yang sudah bos rencanakan. Sebelumnya bos sudah menghubungi losmen langgannya itu supaya ketika aku tiba, pihak losmen mengatakan kalau hanya tersisa satu kamar. Ketika mendengar jawaban itu, aku tahu dari mimik wajah Malik, kalau sebenarnya ia meragukan keterangannya itu. Namun ia hanya diam dan itu berarti kami akan satu kamar dengannya untuk menginap semalam.
Aku menjadi sangat kasihan dengannya. Aku bingung, bagaimana harus menyikapinya. Di satu sisi aku harus melaksanakan perintah bos, namun di satu sisi aku tidak tega kalau semua ini harus terjadi kepadanya. Sungguh, entah kenapa, semakin ke sini, semakin mengenalnya, aku menjadi semakin berpihak kepada Malik. Tapi entahlah. Aku biarkan kebingungan itu. Yang terjadi, biar terjadilah, begitu pikirku malam itu.
Kami mulai masuk ke dalam kamar. Jujur, aku menjadi tidak seperti biasanya. Jantungku berdetak cepat. Kenapa aku menjadi gugup seperti ini? Untuk menutupi kegugupanku, begitu masuk dan meletakkan barang, aku langsung menyalakan televisi. Sementara Malik masuk ke dalam kamar mandi. Setelah keluar, Malik kemudian mengambil sajadah dari dalam tasnya, lalu menggelarnya. Malik mau sholat rupanya. Ia kemudian memintaku supaya mengecilkan volume suara televisi. Televisi itu pun kemudian aku matikan saja. Ia hendak sholat magrib digabung dengan sholat isya’. Dan itu ia lakukan tanpa mengajakku.
Sembari memperhatikannya sholat, kedua mataku jadi berkaca-kaca. Aku ingin sekali menangis. Aku ingin sekali sebenarnya memeluknya, namun aku tidak mungkin melakukan itu. Aku semakin kagum dengannya.
Setelah Malik sholat, melihat aku yang akhirnya menangis, ia pun menanyakannya alasan kenapa airmataku keluar. Aku pun benar-benar tidak bisa menutupi apa yang selama ini aku tutup-tutupi. Aku semakin kasihan dengannya. Aku kemudian menceritakan semuanya, termasuk siapa aku. Malik hanya diam sambil mendengarkan. Sesekali raut wajahnya terlihat kecewa. Namun itu tidak lama, beberapa detik kemudian wajahnya tampak kembali seperti biasa. Setelah aku selesai bercerita, aku kemudian bertanya:
“Apa kamu tidak pernah merasa, Mas?”
“Aku pernah merasa kok, In.” Jawabnya, tenang.
“Termasuk aku yang selalu berusaha menggodamu?”
Malik hanya mengangguk, kemudian meminta maaf.
“Seharusnya aku yang meminta maaf Mas, bukan kamu.” Kataku.
Malik hanya diam.
“Kamu tidak malu berteman dengan pelacur sepertiku?” Tanyaku.
“Apa yang membuatku malu, In? Aku tidak lebih baik dari kamu, dari siapa pun. Dan aku tidak mau memandang siapa saja dari kacamata itu. Toh aku tidak bisa memastikan kalau aku lebih baik dari kamu, dari siapa pun, In.”
“Terus apa yang ingin kamu lakukan setelah mengerti semua ini?”
“Seperti biasanya, In.”
“Meskipun kamu diperlakukan seperti itu?”
“Insya Allah.”
Aku tak tahu, apakah dalam hati Malik menginginkan supaya aku meninggalkan semua yang aku jalani selama ini. Tapi, sungguh, tanpa harus aku tahu, tanpa harus mendengar penjelasan dari mulutnya secara gamblang, keluhuran budinya, kebaikan-kebaikannya, sikapnya yang bagiku sangat mempesona, sudah lebih dari ajakan bagiku untuk memperbaiki diri. Indah!